Aug 9, 2007

Prosedur Mengajukan Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama

Bila Anda (pihak Istri)merasa bahwa perkawinan Anda tidak dapat dipertahankan lagi dan memutuskan untuk bercerai, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengajukan Gugatan Perceraian. Bagi yang beragama Islam, gugatan ini dapat diajukan di Pengadilan Agama (Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).


1. Dimana Gugatan Diajukan?

Bila anda yang mengajukan gugatan perceraian, berarti anda adalah pihak Penggugat dan suami adalah Tergugat. Untuk mengajukan gugatan perceraian, anda atau kuasa hukum anda (bila anda menggunakan kuasa hukum) mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggal anda. Bila anda tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila anda dan suami anda tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat anda berdua menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama)


2. Alasan dalam Gugatan Perceraian

Alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan perceraian anda di Pengadilan Agama antara lain:

a. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
b. Suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan anda;
c. Suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;
d. Suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda;
e. Suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang dideritanya;
f. Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
g. Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
h. Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga.

(Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975)


3. Saksi dan Bukti

Anda atau kuasa hukum anda wajib membuktikan di pengadilan kebenaran dari alasan-alasan tersebut dengan:

1. Salinan Putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat hukuman 5 (lima tahun) atau lebih (pasal 74 UU No. 7/1989 jo KHI pasal 135).
2. Bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasan Anda adalah suami mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tak mampu memenuhi kewajibannya (pasal 75 UU 7/1989)
3. Keterangan dari saksi-saksi, baik yang berasal dari keluarga atau orang-orang dekat yang mengetahui terjadinya pertengkaran antara anda dengan suami anda (pasal 76 UU 7/1989 jo pasal 134 KHI).


4. Surat-surat yang Harus Anda siapkan

* Surat Nikah asli
* Foto kopi Surat Nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai, kemudian dilegalisir
* Foto kopi Akte Kelahiran anak-anak (bila punya anak), dibubuhi materai, juga dilegalisir
* Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru Penggugat (istri)
* Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

Bila bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan pula gugatan terhadap harta bersama, maka perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikannya seperti sertifikat tanah (bila atas nama penggugat/pemohon), BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor)/STNK(Surat Tanda Nomor Kendaraan) untuk kendaraan bermotor, kwitansi, surat jual-beli, dll.

Untuk itu, sangat penting untuk menyimpan surat-surat berharga yang anda miliki dalam tempat yang aman.


5. Isi Surat Gugatan

1. Identitas para pihak (Penggugat/Tergugat) atau persona standi in judicio, terdiri dari nama suami dan istri (beserta bin/binti), umur, tempat tinggal, hal ini diatur dalam pasal 67 (a) UU No. 7/1989. Identitas para pihak ini juga disertai dengan informasi tentang agama, pekerjaan dan status kewarganegaraan
2. Posita (dasar atau alasan gugat), disebut juga Fundamentum Petendi, berisi keterangan berupa kronologis (urutan peristiwa) sejak mulai perkawinan anda dengan suami anda dilangsungkan, peristiwa hukum yang ada (misalnya: lahirnya anak-anak), hingga munculnya ketidakcocokan antara anda dan suami yang mendorong terjadinya perceraian, dengan alasan-alasan yang diajukan dan uraiannya yang kemudian menjadi dasar tuntutan (petitum). Contoh posita misalnya:

* Bahwa pada tanggal…telah dilangsungkan perkawinan antara penggugat dan tergugat di…
* Bahwa dari perkawinan itu telah lahir …(jumlah) anak bernama…, lahir di…pada tanggal…
* Bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat sering sering terjadi perselisihan dan pertengkaran sebagai berikut…
* Bahwa berdasarkan alasan di atas cukup bagi penggugat mengajukan gugatan perceraian…dst

3. Petitum
(tuntutan hukum), yaitu tuntutan yang diminta oleh Istri sebagai Penggugat agar dikabulkan oleh hakim (pasal 31 PP No 9/1975, Pasal 130 HIR).

Bentuk tuntutan itu misalnya:

1. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat …sah putus karena perceraian sejak dijatuhkannya putusan oleh hakim;
3. Menyatakan pihak penggugat berhak atas hak pemeliharaan anak dan berhak atas nafkah dari tergugat terhitung sejak tanggal...sebesar Rp....per bulan sampai penggugat menikah lagi;
4. Mewajibkan pihak tergugat membayar biaya pemeliharaan (jika anak belum dewasa) terhitung sejak....sebesar Rp....per bulan sampai anak mandiri/dewasa;
5. Menyatakan bahwa harta berupa....yang merupakan harta bersama (gono-gini) menjadi hak penggugat...
6. Menghukum penggugat membayar biaya perkara…dst


6. Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU No.7/89)

Sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:

1. Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.
2. Ijin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah.
3. Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami;
4. Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
5. Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.

BILA ANDA MASIH RAGU-RAGU KETIKA MENYUSUN GUGATAN PERCERAIAN, ANDA DAPAT BERKONSULTASI DENGAN SALAH SEORANG PENGACARA DI LEMBAGA-LEMBAGA BANTUAN HUKUM YANG ADA.

(sumber:http://www.lbh-apik.or.id/fact-47.htm)

Ketika Perceraian Terjadi ...

Putusnya suatu hubungan pernikahan tidak berarti berakhirnya hubungan antara Anda dan mantan, tetapi justru merupakan awal dari suatu hubungan yang baru dan bahkan sering merupakan proses yang menyakitkan atas pemulihan suatu hubungan.

Bersama-sama mantan, Anda harus mengurus perceraian, mengikuti konsultasi, dan hubungan yang tadinya merupakan hubungan suami-istri berubah menjadi pertemanan serta partner yang sama-sama mempunyai kepentingan dan tanggung jawab terhadap anak-anak.

Jelas, semua ini proses ini membutuhkan waktu. Umumnya, ada 4 tahapan yang akan Anda hadapi, yang bisa berlangsung secara terpisah ataupun bersamaan.

1. Tahap Berkabung

Pada masa ini salah satu atau kedua duanya merasakan sakitnya perceraian yang terjadi dengan tingkatan yang bervariasi. Ada perasaaan kehilangan, sedih, yang diikuti dengan perasaan sakit hati, marah, atau rasa bersalah. Bisa juga muncul hasrat yang kuat untuk melemparkan kesalahan, perasaan "seri", atau menghukum pasangannya.

Perasaan-perasaan ini wajar saja walaupun dapat membuat takut dan marah pada orang yang menjadi sasaran. Tahapan ini tidak dapat lewat begitu saja. Biarkan diri Anda mengungkapkan semua perasaan pada saat konseling dengan penasihat perkawinan atau psikolog. Bila Anda yang menjadi sasaran dari perasaan-perasaan ini, bantu dengan cara menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak Anda dan menolong mereka mengatasi permasalahannya. Sangat penting untuk meyakinkan anak-anak bahwa perasaan-perasaan yang disebutkan di atas bukan ditujukan kepada mereka dan tidak mempengaruhi hubungan mereka dengan kedua orang tuanya.

2. Tahap Ketergantungan

Pada tahapan ini, emosi yang tadinya begitu kuat, meledak-ledak, dapat mereda. Di sisi lain, kebutuhan akan berbagai macam jenis dukungan seperti keuangan, emosional, bantuan akan masalah sehari-hari, dapat tetap berlangsung. Kebiasaan ketergantungan jangka panjang pada masing-masing pasangan untuk meminta bantuan dan sebagai sahabat dapat berlangsung tanpa batasan waktu. Ketergantungan ini dapat bersifat positif dan sehat bila tidak ada masalah dalam proses pengembangan pribadi atau beban pada masing-masing pihak. Bila hal ini berlangsung, pihak yang merasa dibebani harus dapat lebih tegas mengungkapkan kebutuhannya sendiri. Pihak yang merasa sangat bergantung sebaiknya mencari cara lain untuk mendapatkan dukungan melalui konseling.

3. Tahap membentuk Identitas Baru

Setiap pasangan dalam suatu perkawinan mendasari sebagian identitasnya pada hubungan perkawinan untuk kurun waktu tertentu. Pada saat perkawinan berakhir, diperlukan waktu untuk membentuk kembali suatu identitas baru sebagai single parent. Penemuan kembali jati diri sering merupakan proses yang menyakitkan. Hal ini melibatkan berbagai masalah baru seperti tinggal di rumah baru, mengembangkan minat dan kegiatan baru, serta menjalin persahabatan dengan teman-teman baru. Selama masa ini, yang terbaik adalah menjalin persahabatan dengan teman lama dan keluarga yang dapat dipercaya untuk mendapatkan dukungan moral.

4. Tahapan Akhir

Disebut pula tahapan integrasi. Hal ini merupakan hasil akhir yang diinginkan dari proses menata kembali segalanya dari awal. Setiap pihak merasa nyaman dengan terbentuknya kembali identitas baru sebagai single parent. (Bila ada hubungan baru yang terjalin, maka pihak yang bersangkutan merasa bebas untuk menyatakannya tanpa rasa bersalah ataupun marah). Akan muncul rasa kemampuan yang baru dalam mengatasi masalah keseharian dan masalah kesejahteraan pribadi. Setiap orang selalu melihat dirinya sebagai individu yang bisa bertahan dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta merasa lebih diterima oleh mantannya. Persahabatan dapat berkembang dengan didasari oleh pengertian yang realistis, saling menghargai masing-masing pihak sebagai individu, dan pada minat serta tanggung jawab yang umum, terutama sebagai mitra untuk anak-anak.

YANG PENTING DIINGAT

* Konsultasi dengan ahlinya dapat membantu Anda mempercepat proses menata ulang kmbali kehidupan. Caranya, ya, dengan menyadari dan menerima perasaan-perasaan Anda dan dengan tetap menjaga komunikasi yang terbuka dengan mantan, anak-anak, sahabat, dan keluarga yang dapat dipercaya.
* Perceraian yang sehat dan positif merupakan suatu usaha timbal balik yang aktif. Masing-masing pihak harus mempunyai pandangan yang sama atas kesimpulan perceraian serta pengalaman perkawinan. Diperlukan penyelesaian rasa emosional dan spiritual. Yang terbaik adalah melepaskan segala perasaan marah, menyalahkan, bersalah, ataupun kegagalan. Tujuannya adalah untuk menciptakan peningkatan pengertian diri sendiri, kemampuan untuk membentuk suatu hubungan yang sehat dan rasa percaya diri. (Tabloid Nova)
(sumber :http://www.kompas.com/kesehatan/news/0601/13/141136.htm)

Mar 17, 2007

IT'S JUST BROKEN HOME NOT BROKEN US!


Sering banget istilah broken home kita temui, seperti situasi keluarga yang berantakan karena orangtua tidak peduli sama keluarga, keadaan yang bikin kita nggak betah di rumah, dan kondisi yang tidak harmonis bisa disebut broken home.
Sebagian orang mengatakan, broken home akan berakhir pada perpisahan atau perceraian suami-istri yang dilandaskan pada keputusan terbaik. Mungkin iya untuk mereka, tapi apa itu juga yang terbaik untuk kita sebagai anak????
Kita sebagai anak yang biasa dijadiin korban pasti bingung harus gimana. Bisa kita jadi murung, sedih, dan malu. Kita juga jadi hilang pegangan dari orangtua yang seharusnya membimbing kita. Nggak ada satu orang pun yang menginginkan keadaan keluarga kayak gini. Kita harus bangun dari "mimpi buruk" itu….
1. Nggak boleh nyerah sama keadaan. Coba ngomong sama orangtua buat membicarakan masalah yang ada sampai nemuin kunci buat nyelesein.
2. Kalau nggak berhasil nyatuin, ya kita tetep harus selalu mikir positif sama apa yang terjadi. Kita harus coba menerima dan tegar. Jauhkan segala pikiran buruk yang bisa menjerumuskan kita menuju kehancuran atau malah menyiksa diri sendiri.
3. Cobain deh hal-hal baru yang menantang, kayak hiking, rafting, atau olahraga alam. Yang bisa bikin kita lebih segar dan ngelupain hal-hal buruk.
4. Kita nggak sendirian lho! Lo bisa cari tempat buat cerita-cerita.Tapi, yang pasti cuma orang-orang tertentu yang bisa dipercaya aja lho. Jangan sembarang orang!
5. Bangun dari mimpi masa lalu. Kita harus belajar sadar bahwa di balik keputusan bokap-nyokap yang nyakitin kita, larut dalam keadaan nggak bikin kita sehat atau dapetin kebahagiaan yang kita inginkan. Buktiin kalau kita bisa. Buktiin kalau kita tetap sama kayak anak lain. Buktiin kalau kita bisa ngasih yang lebih baik daripada yang lain. Tetap berusaha dan semangat ! Itu kuncinya.
6. "Take a new position at our home". Mungkin setelah nggak ada lagi papa-mama di rumah, kita bisa ngambil posisi mereka di rumah. Kita belajar untuk lebih dewasa dan kita bisa belajar bertanggung jawab lebih besar dibandingkan anak-anak lain.
7. "Let the history be the history and do something for the future". Masa lalu biarin aja jadi masa lalu, jangan terus-terusan nyalahin apa yang udah terjadi. Inget, kita nggak hidup untuk masa lalu, tapi buat masa depan. Jangan jadi minder sama keadaan kita yang bukan dari "happy family". Justru jadiin itu motivasi buat masa depan yang lebih baik.
8. "Don’t waste your time just for something useless". Jangan pernah tertarik sama narkoba atau hal-hal negatif semacamnya. Pelarian kayak gitu sama sekali nggak menyelesaikan masalah. Malah bakal menambah masalah.
9. "Keep praying". Tuhan pasti selalu ngasih jalan yang terbaik buat kita. Walaupun kadang-kadang kita merasa nggak dikasih keadilan, suatu saat lo pasti tahu. Kita bener-bener udah dikasih apa yang terbaik dan yang paling baik di antara semuanya.

Feb 8, 2007

Kiat Single Mom untuk Berkencan Lagi...


Jadi ibu tunggal kadang memang nggak mengenakkan ya. Seperti yang dialami Sisi (31 tahun), ibu dari seorang anak usia 6 tahun. Sisi bercerai dari suami karena tak tahan dengan kelakuannya yang ‘ringan tangan’ dan berpendirian ‘rumput tetangga selalu lebih hijau’ setengah tahun lalu.

Sisi sempat hilang arah saat pengadilan mengetuk palu meluluskan keinginannya untuk pisah dari suami yang dinikahinya selama 7 tahun. Bobot badannya sempat melar, karena saat stres Sisi cenderung ‘lari’ kepada makanan: Ngemil sebanyak-banyaknya.

Setelah setengah tahun berlalu, Sisi bisa menata hati kembali. Badannya lebih langsing dan wajah jauh lebih segar. Kini dia dekat dengan Reza, pria yang lebih tua dua tahun darinya. Tapi status janda dengan anak membuatnya enggan melangkah lebih jauh. “Saya takut anak saya tak bisa menerima kehadiran Reza dan malah menganggapnya sebagai saingan,” ujar Sisi.

Kalau Sisi terkesan 'takut-takut', ada juga ibu bercerai yang malah gagal mendapatkan pasangan karena salah langkah, atau terburu-buru.

Sebelum kita bahas lebih jauh, mari kita cermati fakta berikut:
- Sekitar 75% wanita bercerai yang memiliki anak berusia 25-44 tahun
- Semakin banyak jumlah anak yang dimilikinya, maka kian enggan juga si ibu untuk menikah kembali.
- Sekitar 75% pernikahan kembali terjadi dimulai dengan kehidupan bersama sebagai suami istri.

Agar Anda tak termasuk golongan yang gagal dalam membina hubungan baru setelah kegagalan pernikahan pertama, ada beberapa poin yang harus diperhatikan:
1. Ikuti aturan ‘hanya saat dibutuhkan’. Salah satu kesalahan yang paling umum terjadi adalah para ibu tunggal ini terlalu cepat mengintegrasikan cinta dan keluarga, yakni anak. Pastikan Anda mengenalkan si dia kepada anak Anda saat Anda yakin dia adalah pria yang tepat. Anak yang mulai dekat dengan pasangan Anda mungkin merasa ditinggalkan saat dan jika hubungan itu berakhir. Dengan pengalaman si anak menyaksikan perceraian ayah-ibunya, rasa kehilangan ini kian menyulitkan saja.
2. Jangan bicara terlalu awal. Usahakan sesedikit mungkin berbagi kisah asmara dengan anak. Pasangan sebaiknya dikenalkan dulu sebagai teman. Dengan demikian Anda bisa menyiapkan ‘mental’ si anak jika dia marah atau cemburu, yang bisa menuntunnya menjadi pemberontak
3. Bersikap dengan benar. Cari waktu yang tepat untuk mengenalkan pasangan Anda kepada anak. Soalnya, anak kecil kadang tak mengerti arti berkencan, demikian menurut Sheila Ellison, penulis The Courage to Love Again (Harper, 2002). Andalah yang paling tahu kapan harus mengenalkan s dia sebagai calon ayah baru bagi anak Anda. Pada anak yang masih kecil mungkin ada kerancuan apakah si ayah baru akan mengambil sang mama darinya, sementara pada anak yang lebih besar dia akan lebih memahami bahwa sang mama butuh pendamping dan teman untuk berbagi di luar keluarga atau dirinya.


sumber:
http://www.hanyawanita.com/_relationship/him_us/article.php?article_id=2853

Jan 16, 2007

Hak Anak-Anak Yang Orang Tuanya Bercerai







Anak-anak berhak untuk :
  • Mengetahui kebenaran tentang perceraian itu sendiri, dengan penjelasan-penjelasan sederhana. Dilindungi oleh uang perceraian.

  • Membangaun dan membina hubungan yang independen dengan setiap orang tua.

  • Bebas dari keharusan untuk memihak, keharusan untuk membela salah seorang dari orang tuanya, keharusan untuk merendahkan salah satu dari orang tuanya.

  • Bebas dari tanggung jawab sebagai penyebab perceraian.

  • Dipastikan bahwa mereka bukanlah yang dipersalahkan.

  • Bebas dari keharusan untuk mengambil alih tanggung jawab orang tua.Seorang anak tidak dapat menjadi “kepala rumah tangga” atau “ibu kecil” di rumah.

  • Berharap bahwa kedua orang tuanya akan patuh terhadap rencana-rencana orang tua terhadap anak-anak dan menghormati komitmen yang sudah disetujui untuk menyediakan waktu bagi anak-anak.

  • Berharap bahwa kedua orangtnya akan saling meberi informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan,perawatan gigi, pendidikan serta masalah legal lainnya yang berhubungan dengan anak-anak.

  • Menerima cinta,bimbingan, kesabaran,pengertian dan keterbatasan-keterbatasan dari orangtunya.

  • Menghabiskan waktu bersama masing-masing orang tua, tanpa memperhatikan dukungan finansial.

  • Didukung secara finansial oleh kedua orang tua, betapapun banyaknya waktu yang dihabiskan oleh masing-masing orang tua bersama anak.

  • Memelihara privasi saat sedang berbicara dengan salah satu orang tua melalui telepon.

  • Memiliki ruang tidur serta ruangan sendiri di setiap rumah orang tua.

  • Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sesuai dengan pertambahan usia sepanjang aktivitas itu tidak mengganggu hbungan terhadap masing-masing orang tua.

  • Terhindar dari pembicaraan-pembicaraan tentang hal-hal yang menyakitkan dari proses perceraian orang tuanya.

  • Terhindar dari dibuat merasa bersalah karena mencintai kedua orang tuanya.

  • Terhindar dari membuat keputusan-keputusan mengenai hak perwalian ataupun jadwal berkunjung.

  • Terhindar dari diperiksa ulang oleh seorang orang tua setelah si anak mengunjungi orang tua lainnya.

  • Tidak digunakan sebagai pembawa pesan atau mata-mata dari masing-masing orang tua.

  • Tidak diminta untuk menyimpan rahasia-rahasia masing-masing orang tua.



(Dikutip dari the Divorce Helpbook for Kids ; Chyntia MacGregor)

Jan 15, 2007

Ketika harus memilih

ini tulisannya ferona yang diposting di milis orangtuatungal_indonesia, fer makasih yaah udh boleh dikutip tulisannya



Aku tak pernah ragu memilih. Aku percaya, hidup memang semata urusan
memilih. Dan aku percaya istimewanya manusia adalah karena ia diberi
kesempatan untuk memilih. Walaupun di satu sisi, aku percaya juga bahwa
pilihan manusia juga adalah pilihan yang dipilihkan oleh Tuhan. Tak jadi
soal.

Dan aku bersedih. Ketika temanku merasa sulit untuk memilih, padahal ia
masih bisa memilih. Dan lebih sedih lagi ketika ia beralasan pada anak.

Jujur, dulu pun aku merasa anak merupakan pilihan yang berat. Aku
mengingat malam-malam letihku ketika airmataku meleleh melihat sepasang
gelandangan bermain dengan anak-anak mereka yang kecil di tepi jalan yang
telah sepi. Anak-anak itu, dalam segala kekurangannya, tertawa bersama
ayah bundanya. Airmataku tak kuasa kutahan. Perasaanku terhimpit, merasa
aku akan menjadi penyebab anakku kehilangan kebahagiaan memiliki ayah yang
menyayanginya.

Jujur, aku merasa aku akan menjadi penyebab hilangnya kebahagiaan anakku.
Aku merasa terjepit. Tertekan, hingga berbulan-bulan tiada berani aku
mengambil keputusan. Berbulan-bulan setiap malam, sebelum tidur aku
mencium kaki anakku, berbisik pelan di telinganya, "Maafkan Bunda,
sayang..."

Setiap hari, aku memandangi wajah anakku. Senyumnya yang sangat ceria,
tawanya yang tergelak-gelak, ciumannya yang lembut pada pipiku setiap aku
berkesempatan mengajaknya bermain. Sungguh, bahagia tak terbatas makna.

Keyakinanku muncul. Hidup tak pernah sempurna. Aku menjamin anakku akan
bahagia!

Bahagia tak selalu harus mengikuti apa yang menjadi keyakinan orang lain.
Bahagia tak selalu harus sesuai dengan apa yang terlihat oleh orang lain.

Aku ibu anakku. Anak yang 9 bulan lamanya aku kandung dalam rahimku. Anak
yang pernah berada sangat dekat dengan jantungku. Mata beningnya menatapku
sedih ketika melihatku menangis. Aku merasakan suara kanak-kanaknya yang
lembut meyakinkanku bahwa aku mampu membahagiakannya.

Hidup memang tak pernah sempurna.

Impianku tak banyak. Aku hanya tak ingin menghapus senyum itu dari bibir
anakku.

Aku yakin anakku akan memahami pilihan ibunya.

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails