Nov 28, 2006

info buku : Rebuilding When Your Relationship Ends

Photobucket - Video and Image Hosting


Judul: Rebuilding When Your Relationship Ends ~ Bangkit Kembali Setelah Hubungan Anda Putus
Penulis : Dr. Bruce Fisher & Dr. Robert Albert
Penerbit : Grasindo


"Apakah dia sungguh mengetahui apa yang kurasakan?"

Demikian yang dikatakan pembaca tentang Rebuilding. Jika Anda disakiti oleh tragedi perceraian, Anda membutuhkan program yang mendukung ini langkah demi langkah dalam upaya menjadikan hidup Anda bergairah kembali.

"Salah satu buku terbaik yang ditulis bagi orang yang mengalami perceraian dan korban perceraian."The Behavior Therapist"

Saya sudah membaca buku ini empat kali dan menstabilonya dengan warna yang berbeda. Selalu ada saja hal-hal baru ditemukan... Saya memberi buku ini kepada orang lain. Sangat baik di dalam memulihkan kembali suatu proses, sekaligus juga mengagumkan.
Joy Spalding, Colorado (online review)

"...menyangkut perasaaan dan persoalan-persoalan sehari-hari sehubungan dengan menceraikan dan diceraikan.... perpaduan antara hal-hal yang serius dan optimisme."
Florence Kaslow, Ph.D.
Journal of Marital and Family Therapy

"Menyadarkan saya bahwa saya bukan satu-satunya orang yang merasa dan bertindak pada jalur yang pasti ketika sebuah perkawinan berantakan. Kami semua mengalami reaksi dan emosi yang sama. Langkah untuk kembali bangkit dalam kehidupan Anda, menjadi semakin bermakna dan memang begitulah adanya."
Linda Percussi, New Jersey (online review)

"...sebuah buku pegangan dalam hal menceraikan dan diceraikan. Dapat diterapkan di dalam membangun kembali hubungan yang hancur dalam kehidupan."
Esther Oshiver Fisher, J.D.
Journal of Divorce

"....hangat, sederhana, dan langsung... inilah buku yang jika Anda baca, Anda tak ingin berhenti sebelum halaman akhir."
A.R.E. Press

Bruce Fisher, Ed.D mengembangkan model pemulihan kembali setelah perceraian (Rebuilding) selama kurang lebih 25 tahun. Pendiri dan direktur Family Relations Learning Center (Boulder, Colorado), dia sudah mentraining ribuan orang dengan pendekatan ini, memperkaya kehidupan banyak orang di seantero dunia. Ia dikenal sebagai terapis yang andal dalam masalah perceraian, penulis, pendidik, anggota American Association for Marriage and Family Therapy.

Robert E. Alberti, Ph.D. adalah psikolog, terapis untuk masalah perkawinan dan keluarga, Fellow (Psychotherapy) of the American Association, anggota klinis American Association for Marriage and Family Therapy, penulis beberapa buku, termasuk buku laris Your Perfect Right. Karyanya dikenal luas dan dihargai sebagai gold standard di bidang penyembuhan psikologis secara mandiri.

Oct 20, 2006

Perempuan Orangtua Tunggal, Bukan "Trend" tetapi Pilihan Nasib

oleh : Maria S Ratri
MENJADI orangtua tunggal bagi seorang perempuan kebanyakan adalah lebih merupakan pilihan nasib. Sama sekali tidak tepat dinyatakan sebagai trend (kecenderungan) hanya karena segelintir artis menjalaninya dengan terbuka. Hal ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan karena menjadikan status orangtua tunggal sebagai kecenderungan dapat memberi pengaruh kurang baik bagi generasi muda.
Lagi pula, bagaimana dapat dinyatakan sebagai suatu trend bila sebagian besar perempuan (biasa) yang mengalaminya mengambil keputusan tersebut lebih karena situasi-kondisi yang sering kali di luar kendali dan harapannya sehingga "memaksa" perempuan cepat mengambil keputusan yang dirasanya terbaik. Terbaik untuk saat itu, baginya dan anak(-anak)-nya, juga dalam menghadapi masa mendatang.
Bagaimana bisa disebut sebagai trend di dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma sosial (setidaknya di permukaan) jika kenyataannya adalah nasib yang harus dijalani perempuan kebanyakan karena pilihannya sudah sangat terbatas. Tak jarang nyawa adalah taruhannya.
Untuk lebih memahami pilihan perempuan menjadi orangtua tunggal, ada baiknya juga bila kita mengerti bahwa pilihan tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu yang sama sekali tidak pernah menikah dan yang sempat/pernah menikah.
Yang tidak pernah menikah dapat dibedakan menjadi yang memang ingin punya anak tanpa menikah, dan yang terpaksa tidak menikah karena ayah sang anak tidak mau bertanggung jawab. Sementara untuk yang bercerai terbagi atas yang masih menjalin hubungan baik dengan mantan suami sehingga anak tidak kehilangan figur ayah, dan yang benar-benar putus hubungan, tidak dipedulikan lagi oleh mantan suami.
Perbedaan dua kategori ini secara umum tidak terasa karena intinya adalah sama: perempuan menjadi orangtua tunggal. Namun, bila didalami sedikit banyak akan tampak bedanya.
BAGI perempuan yang memilih punya anak tanpa menikah, secara lahir batin ia siap dengan segenap konsekuensi yang akan dihadapi. Keluarganya pun telah mempersiapkan mental dan emosional mereka masing-masing, termasuk dalam menjelaskan pilihan tersebut kepada masyarakat sekitar.
Pada perempuan yang terkaget-kaget karena kekasihnya menolak bertanggung jawab namun ia sendiri tetap ingin membesarkan anaknya, trend sama sekali tidak terlintas di kepalanya. Rasa bersalah dan rasa tidak ingin menambah dosa yang ada dengan melakukan aborsi lebih mendominasi pikirannya.
Reaksi orangtua dan saudara dengan risiko dikucilkan sementara ataupun selamanya, teman, tetangga, dan rekan kerja, belum lagi status hukum sang anak kelak dan stigma masyarakat, menjadi beban luar biasa berat. Tetapi, niat untuk tidak berlarut-larut dalam kesalahan sambil tetap berharap siapa tahu ayah sang bayi dalam kandungannya sadar dan bertanggung jawab membulatkan tekadnya untuk maju terus memelihara kandungannya.
Urusan menikah atau tidak itu urusan Tuhan, yang penting bagaimana ia mempersiapkan dirinya secara utuh fisik, mental, emosional, dan finansial, menghadapi masa kini dan masa depan bersama buah hatinya, dalam lingkup kecil keluarga terlebih dalam lingkungan masyarakat luas. Butuh kekuatan hati dan daya juang tinggi untuk menjalani semua itu, termasuk mengikis rasa dendam kepada si lelaki dan membuktikan kepada lingkungan sekitar bahwa ia mampu.
Belum lagi bila kelak ia ingin menikah. Sekalipun calon suami menerimanya, dapatkah keluarga calon menerima keberadaan seorang menantu yang tidak pernah menikah namun telah punya anak? Bersediakah calon mertua menjelaskan kepada sanak saudara, teman, dan tetangga bahwa sang menantu terpaksa tidak menikah karena si pria menolak bertanggung jawab walau telah menghasilkan anak? Seorang teman sampai merasa para calon mertua pasti lebih memilih janda yang jelas-jelas memiliki bekas suami daripada perempuan punya anak tanpa bekas suami. Namun, ia menyadari, semua ini adalah risiko pilihan hidup yang dijalaninya.
Pada perempuan yang pernah menikah lalu bercerai, siap atau tidak, predikat janda dengan anak(-anak) akan disandangnya. Bila hubungan dengan mantan suami dan keluarganya baik, masalah figur ayah juga kebutuhan hidup sehari-hari bagi anak sedikit banyak teratasi. Kehadiran ayah bukan hanya secara fisik, masih dapat dirasakan anak dan lingkungan sekitar pun melihat kenyataan keberadaan sosok ayah sekalipun telah bercerai dari sang ibu tetapi tetap menjadi bagian dalam hidup anak. Namun, bila hubungan tersebut berantakan dan tanpa dukungan memadai dari pihak keluarga perempuan, maka sang anak pun harus siap ikut menanggung akibatnya.
Sama dengan situasi perempuan orangtua tunggal yang tidak menikah, anak-anak janda ini pun akan ditanyai keberadaan (bukan hanya fisik) ayahnya. Perbedaan antara yang menikah dan tidak salah satunya adalah kejelasan keberadaan ayah dan status hukum yang terkait dengan hal tersebut dalam akta kelahiran. Selain pertanyaan seperti, "Ayahmu pernah telepon tidak?" atau "Ayahmu pernah ngasih apa aja buat kamu?" Juga, "Lho, kenapa ayahmu tidak mau tinggal sama kamu lagi?"
Jelaslah bagi anak dari perempuan orangtua tunggal, terlebih bila anak bersekolah di sekolah biasa dan bukan sekolah kurikulum internasional yang biasanya tidak mempermasalahkan hal ini, tekanan yang dihadapi anak tidak ringan. Selain secara pribadi ia menyaksikan anak-anak lain memiliki ayah-ibu yang tampak bersama-sama dalam acara-acara tertentu sekolah, dalam lingkungan sekolah dan pertemanannya pun ia akan ditanyai keberadaan ayahnya. Sekali-dua sosok ayah tidak hadir masih dapat dimaklumi, tetapi bila setiap kali hanya berdua dengan ibu, maka pertanyaan mengenai ayah tanpa sungkan akan diajukan.
Belum lagi bila teman-teman sebaya ribut membanggakan kelebihan ayah masing-masing. Figur ayah macam apa yang dapat ia banggakan? Sekadar foto-foto seorang pria, baik sendirian maupun bersama ibunya (ataupun juga dengan sang anak bila kedua orangtuanya sempat menikah), di masa entah kapan? Bagi seorang ibu, hal-hal yang menyangkut dan melukai perasaan anaknya sungguh terasa lebih menghunjam daripada gosip tetangga dan rekan kerja tentang dirinya.
ANAK dari perempuan orangtua tunggal dapat tumbuh sehat jasmani dan rohani, moril dan materiil atas dukungan keluarga inti dan keluarga besar, juga lingkungan yang menerima, tetapi semua itu memerlukan proses yang tidak semenarik ilusi sulap.
Akhir kata, marilah kita galakkan pemahaman bahwa menjadi orangtua tunggal adalah pilihan hidup yang tidak mudah, namun tetap harus dihargai sebagai suatu bentuk kekuatan perempuan yang dapat dibanggakan, bukannya trend layar kaca yang ingar-bingar. Di balik keputusan tersebut terkandung permasalahan yang kompleks dan perjuangan amat berat bagi perempuan kebanyakan yang tidak mungkin dibahas secara gamblang di media apa pun.
(Maria S Ratri Orang tua tunggal tinggal di Surabaya)
sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/16/swara/1750567.htm

Jika Harus Berpisah... Menjadi Orang tua Tunggal

Siapa pun pasti tak pernah berharap menjadi orang tua tunggal (single parent). Keluarga yang lengkap dan utuh merupakan idaman setiap orang. Namun, adakalanya nasib berkata lain. Menjadi single parent dalam sebuah rumah tangga tentu saja tidak mudah. Terlebih, bagi seorang isteri yang ditinggalkan suaminya, karena meninggal atau bercerai. Paling tidak, dibutuhkan perjuangan berat untuk membesarkan si buah hati, termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Meski menjadi orangtua tunggal terbilang tak mudah dijalani, namun sangat banyak wanita yang menjadi ibu sekaligus kepala keluarga, tetap sukses membesarkan anak-anaknya. Pengalaman sukses menjadi single parent telah ditempuh, mantan peragawati Titi Qadarsih, walau harus mengalami pasang surut yang tak terkirakan untuk mengantar anak-anaknya ke masa depan.
Titi menjadi single parent setelah ditinggal sang suami untuk selama-lamanya pada 1996. Sejak itu ia mengaku semakin mendekatkan diri pada Allah SWT sebagai sumber kekuatan dirinya. ''Ternyata mendidik anak tidak hanya membutuhkan keuletan dan kesabaran, tapi juga harus ada bimbingan dari Yang Di Atas,'' tutur Titi. Titi pun merasa harus melakukan segala sesuatunya sendiri, yakni menjadi kepala keluarga sekaligus ibu bagi anak-anak. Ibu dua anak ini mengakui sejak ditinggal sang suami, kehidupan yang harus dilaluinya terasa lebih berat, terutama menyangkut perannya sebagai orangtua tunggal yang harus membesarkan dua anaknya.
Cobaan demi cobaan harus dilaluinya sendirian. Artinya, dari menghadapi masalah hingga menyelesaikan masalah anak-anak lebih banyak harus dipikirkan dan dilakukannya sendiri. Dengan ketelatenan dan doa yang selalu dipanjatkan ia merasa kerap kali cobaan itu berhasil dilaluinya. ''Alhamdulillah, dengan ketelatenan dan berserah diri kepada Allah, cobaan yang menimpa keluarga saya akhirnya bisa teratasi,'' ujar Titi. Menurut mantan peragawati ini, setiap orang pasti pernah menghadapi persoalan berat dalam hidupnya. Persolaan itu, sambungnya, bisa menjadi berat dan bisa pula menjadi ringan tergantung setiap orang menyikapinya. ''Semua persoalan pasti ada jalan keluarnya. Kuncinya, asal mau selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta,'' katanya.
Anak masalah terberatPakar ahli jiwa AS, Dr Stephen Duncan, dalam tulisannya berjudul The Unique Strengths of Single-Parent Families mengungkapkan, pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga yang hanya dipimpin orangtua tunggal adalah masalah anak. Anak, paparnya, akan merasa dirugikan dengan hilangnya salah satu orang yang berarti dalam hidupnya. ''Hasil riset menunjukkan bahwa anak di keluarga yang hanya memiliki orangtua tunggal, rata-rata cenderung kurang mampu mengerjakan sesuatu dengan baik dibandingkan aanak yang berasal dari keluarga yang orangtuanya utuh,'' terangnya.
Menurut Duncan, keluarga dengan orangtua tunggal selalu terfokus pada kelemahan dan masalah yang dihadapi. Ia berpendapat, sebuah keluarga dengan orangtua tunggal sebenarnya bisa menjadi sebuah keluarga yang efektif, laiknya keluarga dengan orangtua utuh. Asalkan, mereka tak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya. ''Melainkan, harus secara sadar membangun kembali kekuatan yang dimilikinya,'' katanya. Sedangkan, Stephen Atlas, pengarang buku Single Parenting, menuliskan, jika keluarga dengan orangtua tunggal memiliki kemauan untuk bekerja membangun kekuatan yang dimilikinya, itu bisa membantu mereka untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Dengan begitu, Duncan menyambung, ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari upaya itu bagi si orangtua maupun anak-anaknya. ''Dengan begitu, sebenarnya bukan sebuah halangan bagi wanita yang menjadi single parent untuk mendidik dan memelihara keluarganya,'' katanya. Apalagi ada sebuah kajian psikologi yang menyatakan bahwa wanita bisa lebih kuat menghadapi perpisahan, baik itu kematian maupun perceraian dengan pasangan, ketimbang laki-laki. Wanita semestinya lebih tahan menderita karena secara sunnahtullah ia terlatih untuk 'kuat' menghadapi darah menstruasi di awal balighnya, hamil, dan melahirkan. Sementara, di usia baligh yang sama, anak laki-laki mungkin masih bermain-main. Namun, paparan ini bukan menjadi alasan untuk mudah memutuskan menjadi orang tua tunggal, apalagi karena perceraian. - (hri/ berbagai sumber )
Sumber: http://www.republika.co.id

Oct 11, 2006

info buku : parenting after divorce


"Orang tua banyak berkilah selama perceraian..""... dan jika mereka terus berkilah setelah perceraian,"kata Dr. Philip Stahl, "niscaya anak-anak mereka menjadi korban, mereka akan menderita." Stahl mafhum, orang tua tidaklah sempurna dan ia memanfaatkan pengetahuan itu untuk menunjukkan ketidaksempurnaan orang tua bagaimana seharusnya mengelola perbedaan-perbedaan itu demi anak-anak mereka.
Inilah sebuah buku yang secara realistis mengupas efek-efek perceraian orang tua pada anak. Sangat penting menjadi pegangan para konselor, terapis, pendidik, psikolog, orang tua yang bercerai, dan siapa saja yang peduli pada masa depan anak.

"Sebuah karya yang praktis bagi orang tua yang bercerai..."Andrew Schepard, J.D. Hofstra University.

"Bacaan wajib!"Phil Bushard, DPA, Past President Association of Family and Conciliation Courts.

"Karya yang sangat menarik dan praktis, membumi, mudah dicerna."Hon Arline S. RotmanAssociate Justice, Family Court, Boston, MA.

"Inilah buku yang ditulis khusus bagi orang tua yang pisah ranjang dan bercerai, orang tua yang masih menginginkan agar anak-anak mereka tidak menjadi korban perpisahan dan perceraian dan abgaimana mengasuh serta membesarkan mereka."Rhonda B. BNarovsky, LCSW, BCD Program Manager, Family Court Services, San Francisco, CA

Philip M. Stahl, Ph.D. seorang psikolog, pakar di bidang konflik akibat perceraian dan melakukan praktik konsultasi di Dublin, California.Ia memimpin pendidikan dan pelatihan bagi para psikolog, pengacara, hakim, dan para evaluator yang bekerja bagi keluarga-keluarga yang bercerai. Ia menulis banyak karya seputar masalah evaluasi antarhubungan dan perceraian. Buku yang pernah ia tulis Complex Issues in Custody Evaluations dan Conducting Child Custody Evaluations: A Comprehensive Guide.


Penerbit: Grasindo
Harga : Rp 38.000 (mudah2an blm naik yaa :D)

Oct 10, 2006

Hak Asuh Anak, Siapa Punya?

Meski tak punya kuasa asuh anak, bukan berarti Anda tak bisa mengoptimalkan pengasuhan si kecil. Tunjukkan Anda orang tua yang oke!

Belum lagi luka mengering setelah suaminya Bob mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, Anna harus menghadapi kenyataan pahit. Bob mendapat hak kuasa asuh anak mereka. Meski di pengadilan, Anna dinyatakn punya hak bertemu anaknya secara rutin dan memantau perkembangannya, kenyataan berbicara lain. Sulit sekali ia bertemu Dea, putrinya. Anna merasa dipersulit untuk bertemu buah hatinya yang berusia 3 tahun. Apa yang terjadi pada Anna adalah masalah klasik orang tua, entah ayah atau ibu, yang tak mendapat hak kuasa asuh anak. Jika hal ini terjadi pada Anda, apa yang Anda lakukan? Benarkah Anda tak bisa berbuat apa-apa karena tak mendapat hak kuasa asuh?
Harus lapang dada
Siapa tak ingin perkawinannya berjalan bahagia hingga akhir hayat? Kenyataaannya tak jarang pasangan memilih bercerai sebagai penyelesaian masalah perkawinan mereka. Contohnya pasangan Rahmat (40 tahun) bukan nama sebenarnya, dan Alicia (34 tahun). Mereka mengakhiri kehidupan perkawinan setelah melalui penyelesaian masalah berlarut-larut. Sejak di-PHK massal, Rahmat seringkali bertengkar soal uang dengan istrinya. Bertahun-tahun masalah itu seolah tak kunjungan berhenti hingga mereka memutuskan cerai di awal tahun 2005. Berdasarkan keputusan pengadilan, hak asuh dua anak pasangan ini, Ridzky (9 tahun) dan Renaldi (5 tahun), jatuh ke tangan Alicia. Meski sedih menerima keputusan pengadilan karena harus berpisah dengan anak, namun Rahmat menerimanya. Rahmat berpikir ia dan mantan istrinya bisa membuat jadwal yang adil agar bisa bertemu anak-anak mereka. Tentu tidak mudah menerima keputusan harus berpisah dengan darah daging sendiri, seperti dialami para ibu atau ayah yang tidak mendapatkan hak kuasa asuh anak. Walau begitu, sebagaimana dikatakan Dra. Ira Petranto, Psi, MM, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), kenyataan pahit tersebut harus diterima dengan lapang dada.
Menurut Ira, orang tua sebaiknya menghindari saling rebut anak demi si kecil. Bisa dibayangkan jika anak memiliki dua tempat tinggal dan harus berpindah-pindah demi memuaskan egoisme orang tua, pastinya kondisi yang tak stabil itu sangat buruk bagi perkembangan anak. Menerima kenyataan orang tua bercerai saja sulit bagi si kecil, apalagi menghadapi kenyataan hidup yang tak stabil. Jika kehidupan perkawinan berantakan, apakah Anda rela menghancurkan kehidupan si kecil juga?
Diatur hukum
Perebutan hak asuh anak semestinya tak perlu terjadi. Pengasuhan anak paska perceraian orang tua sebenarnya diatur secara hukum. Zaimah Husin, SH, staf pelayanan hukum LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan Jakarta), menyatakan ketika terjadi perceraian, dalam Undang Undang Perkawinan (baik dalam kompilasi hukum Islam maupun dalam hukum sipil) biasanya hak asuh anak di bawah usia 12 tahun diserahkan pada ibu, kecuali jika ibu berperilaku tidak baik (pemadat, peminum atau lainnya) dan bukan ibu yang baik. Selain sebab tersebut, ada hal-hal lain yang bisa menyebabkan hak asuh tak jatuh ke tangan ibu, seperti ibu keluar rumah tanpa membawa anak, atau hakim melihat kedekatan ayah dengan anak dibanding pada ibunya. Berbeda dengan kasus perkawinan antarbangsa. Para ibu orang Indonesia dalam perkawinan tersebut tidak mendapatkan hak kuasa asuh anak. Menutur Maya Miranda Ambarsari, SH, MIB, Ketua I Perkumpulan Srikandi, itu terjadi karena hukum di Indonesia, anak yang lahir dari perkawinan antarbangsa langsung mengikuti garis ayahnya, karena hukum di Indonesia menganut ius sanguinis (kewarganegaraan berdasarkan darah). (note: Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
(sumber: http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.html))
Meski demikian, dalam tahap membicarakan hak asuh anak, setelah hakim menyatakan hak asuh jatuh ke tangan ayah atau ibu, ada kompromi. Semisalnya, ayah memiliki hak kunjung di akhir minggu. Hal ini tentu menyatakan secara tak langsung bahwa kedua orang tua punya tanggung jawab sama baik fisik maupun mental.

Anak korban ego
Mengorbankan anak dalam perceraian sebaiknya dihindarkan demi masa depan si kecil. Pastinya anak tak ingin kehilangan kasih sayang orang tua apa pun yang terjadi. Itulah yang dipikirkan Yessy (39 tahun), bukan nama sebenarnya, dan Andre (42 tahun) ketika merasa ada ketidakcocokan dan lantas memutuskan bercerai. Keduanya sangat menyayangi anak-anak mereka, dan memutuskan tetap utuh berperan sebagai orang tua bagi anak-anak mereka. Meski Yessy dan Andre sempat mengalami ketegangan sebagai pasangan, namun mereka sepakat tinggal berdekatan dan bahkan seringkali melewatkan liburan bersama sebagai keluarga. Sayangnya gambaran ideal suami-istri bercerai namun tetap menjadi orang tua yang baik ini tampaknya hanya dialami segelintir orang.
Rahmat termasuk yang tidak mengalami hubungan manis dengan mantan pasangan setelah bercerai. Ia sulit bertemu anak-anaknya karena dibatasi oleh mantan istrinya. “Untuk mengajak anak menginap bersama saja susah sekali,” kata pria yang bekerja paruh waktu sebagai staf pemasaran sebuah perusahaan asuransi ini. Tak jarang ia hanya diperbolehkan bertemu di luar pagar yang terkunci. Rahmat mengakui mantan istri membatasinya bertemu anak-anak mereka karena ia tidak memberi nafkah bagi dua anaknya secara langsung dan tidak terlibat dalam pendidikan mereka. Hal ini disadarinya meski ia punya alasan lain yakni menyimpan nafkah anaknya dalam bentuk tabungan pendidikan anak yang akan diserahkan kelak pada saatnya. Perceraian seharusnya tidak memutuskan tanggung jawab ayah maupun ibu dalam merawat dan memelihara anak. Namun, menurut Zaimah, biasanya dalam praktek, ego kedua pihak yang bicara sehingga anak jadi korban.
Padahal, seperti disebutkan Ira, tak ada istilah mantan orang tua atau mantan anak, meski ada mantan pasangan. Artinya, dengan atau tanpa hak asuh, mereka tetaplah orang tua bagi anak-anak. Jadi, ayah atau ibu tetap memiliki tanggung jawab sebagai orang tua yang mengasuh, mendidik dan merawat anak.

Bisa minta bantuan
Hak kuasa asuh anak bisa saja jatuh ke ibu atau ayah. Yang jelas, tentu, tak mudah bagi pihak yang tidak mendapatkan hak kuasa asuh menerima kenyataan berpisah dari si buah hati. Namun, menurut Ira, orang tua yang tak mendapatkan hak asuh, justru perlu membuktikan ia orang tua yang bertanggung jawab. Ira memberi contoh, apabila mungkin, alangkah baiknya bila orang tua yang tak memiliki hak asuh bisa mengantar atau menjemput anak pulang sekolah atau mengantar anak kursus. Dengan demikian, mantan pasangan dapat melihat itikad baik untuk memperlakukan anak dengan baik. Bisa jadi, dalam beberapa kasus, ketidakpiawaian ayah mengurus anak terlihat di sana-sini, sehingga membuat ibu khawatir anak tidak dirawat dengan baik ketika tinggal bersama ayahnya. Di sisi lain, Ira melihat peran ayah ketika masih dalam status perkawinan sekarang ini cukup besar dalam urusan mengasuh dan mendidik anak. Tak heran jika fenomena para ayah yang merasa kehilangan fungsi sebagai ayah dan ingin memperjuangkan hak asuh mereka terhadap anak, cukup besar.
Rahmat adalah salah satu ayah yang gigih memperjuangkan hak asuh anaknya. Suatu ketika ia dituduh mencuri anak keduanya, yang diajaknya pulang ke rumahnya, ketika dititipkan pada kakak mantan istrinya. Karena ia tidak memberi nafkah secara langsung pada anak, karena takut dipergunakan mantan istri untuk keperluan pribadinya, Rahmat merasa berada dalam posisi lemah. Memang tuduhan pencuri anak seringkali ditujukan, yang anehnya, pada mantan pasangan yang sebenarnya adalah orang tua si anak. Sekarang ini, Rahmat minta bantuan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) untuk bisa bertemu atau sekadar memantau anak-anaknya. Meski demikian sejak bulan Februari 2006, intensitas perjumpaan Rahmat dengan anak-anaknya sangat berkurang. Mereka hanya bisa berhubungan lewat telepon. Kesulitan ini tak membuat Rahmat mundur. Ia berusaha menjalankan perannya sebagai ayah meski melalui proses berbelit-belit.
Kondisi serupa dialami Vera, bukan nama sebenarnya, yang menikah dengan pria warga negara asing. Vera yang semasa hidup di negara suami harus bekerja keras membiayai kehidupan keluarga dari pagi hingga malam ini bercerai karena tak tahan dengan perlakuan semena-mena suaminya yang peminum. Ketika kembali ke Indonesia membawa anak mereka, suami Vera marah dan melaporkan pada polisi dengan dakwaan penculikan anak. Hukum di Indonesia memang tak berpihak pada wanita dalam perkawinan antarbangsa. Untungnya ketidakberpihakan ini akan segera berakhir. Saat ini di DPR tengah diproses RUU mengenai kesempatan anak-anak di bawah usia 18 tahun yang salah satu orang tuanya berkewarganegaraan asing untuk mendapatkan kewarganegaraan ganda
Tentu, bila hak kuasa asuh jatuh ke tangan mantan pasangan, bukan berarti hak Anda sebagai orang tua terputus. Bila Anda menjalankan tanggung jawab dengan baik, namun merasa dipersulit mantan pasangan untuk mengasuh anak, Anda masih bisa mengupayakannya secara hukum. Menurut Zaimah, pihak yang dipersulit bisa mengajukan gugatan balik ke pengadilan untuk meminta kejelasan hak asuh anak. Penerima hak kuasa asuh juga harus memahami bahwa dengan menerima hak kuasa asuh, bukan berarti anak mutlak miliknya sendiri, dan mengabaikan hak mantan pasangan.
Bagaimana jika mantan pasangan mengabaikan kesejahteraan anak? Untuk kasus ini Zaimah mengatakan bisa diajukan gugatan hak asuh anak dengan melaporkan tuntutan pengambilalihan hak asuh di pengadilan tempat kasus perceraian disidangkan.
Optimalkan pengasuhan
Bagaimanapun kompleksnya masalah Anda dan mantan pasangan, kepentingan si kecil jangan diabaikan. Anak tetap perlu kehadiran Anda dan mantan pasangan sebagai orang tuanya. “Orang tua yang tak mendapat hak kuasa asuh perlu memahami bahwa walaupun tidak memiliki hak asuh, ia tetap punya kewajiban membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Tidak hanya biaya hidup dan pendidikannya saja, namun juga kenyamanan hidup anak,” ujar Ira.
Pengalaman Andre bisa disimak. Meski tak mendapat hak asuh anak, tak jadi soal baginya untuk hadir dalam acara sekolah anaknya. Ia bahkan seringkali membuat acara khusus dengan si kecil tanpa mantan istrinya, selain di setiap akhir minggu kedua anaknya tinggal bersamanya. “Pada dasarnya ayah memang memiliki kompetensi cukup tinggi untuk mengasuh anak tanpa ibu dengan caranya sendiri. Anak juga bisa belajar dari ayahnya bagaimana cara mengatur keuangan, berpikir logis, dan bertahan dalam keterampilan hidup sehari-hari, seperti memasak sederhana atau mencuci pakaian,” ungkap Ira. Sementara dari ibu, anak belajar keterampilan-keterampilan halus seperti mempercantik interior, belanja, menghias rumah dan keterampilan lain yang umumnya didominasi wanita. Semua itu pastinya dibutuhkan anak untuk tumbuh secara utuh.

Tanggalkan ego
Umumnya orang tua yang mendapatkan hak asuh anak membiayai anak-anak mereka seorang diri. Tentu tidak mudah! “Dalam hal ini peran orang tua yang tak memiliki hak asuh sangat diperlukan,” papar Ira. Selain memantau kondisi anak-anak, mereka juga harus memenuhi kewajiban mereka. Dalam keseharian, orang tua dapat memantau keadaan buah hatinya sekaligus memenuhi kewajiban dan haknya bertemu anak. “Dengan demikian orang tua yang memiliki hak asuh sedikit demi sedikit tumbuh kepercayaan pada mantan pasangannya. Bila ada keperluan, pilihan pertama menyerahkan tanggung jawab anak adalah pada mantan pasangannya,” kata Ira.
Demi kesejahteraan si kecil, Anda memang harus menanggalkan ego dan mengesampingkan ketegangan emosi antara Anda dan mantan pasangan. Fokuskan tindakan Anda dan pasangan semata-mata demi perkembangan anak.
(Eleonora Bergita )
Bahan :Cherry Riadi Lukman, GT
Sumber: http://www.ayahbunda-online.com/info_ayahbunda/info_detail.asp?id=Fatherhood&i

Oct 5, 2006

7 stages of divorce

ceritanya pas cari2 gambar nih di mang google nemu gambar ini...



gw pribadi gak tau yaa klo secara teorinya gimana, tp yg gw alamin kurang lebih sama tuh :)

panic
huaah panik tentu..jadi orang tua tunggal, status berubah jadi janda :P, berdoa ma Tuhan "gak mau cerai" , dan ternyata belakangan gw nyadarin banget gw salah berdo'a, yeee koq bisa2nya gw mendikte Tuhan ..malu dong ah..ternyata yg terbaik adalah minta diberikan yang terbaik menurutNYA, dan gw diberi kekuatan untuk menjalaninya

denial
yaaa gitu deh..mengingkari kenyataan..kusut deh pokoknya

agony
masa2 nangis darah sambil garuk2 aspal :P

rage
hmm gw emosian banget deh, pendek sumbu jack!, korbannya? siapa lagi klo gk anak sendiri :(( (maafin mama yaa nak...)

epiphany
hihi mulai2nyadar gitu deh life must go on

negotiation
bukan negosiasi ma manusia ituh yaa :P
tp negosiasi ma diri sendiri..coba lebih ikhas nerima jalan hidup, nerima klo hidup gw mungkin lebih berwarna-warni dari orang laen :)

peace
peace man..(gaya alam huahahaha....)

Dampak Psikologis Anak yang Dibesarkan Tanpa Figur Ayah



Idealnya, seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu. Tetapi kadangkala keadaan "memaksa" seorang ibu membesarkan anak seorang diri. Meski si ibu sudah merawat dan memperhatikan si anak, tapi tetap saja ada dampak psikologis yang akan dialami oleh anak yang dibesarkan tanpa figur ayah, apa saja kah itu ?
Menurut Lifina Dewi, M.PSi, psikolog dari Universitas Indonesia, dampak psikologis yang dihadapi anak dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kepribadian dan gender si anak, serta bagaimana penghayatan si ibu terhadap peran yang dijalaninya.
"Pada anak-anak yang memiliki sifat tegar atau cuek mungkin dampaknya tidak terlalu terlihat, tapi untuk anak yang sensitif pasti akan terjadi perubahan perilaku, misalnya jadi pemurung atau suka menangis diam-diam, hal ini biasanya terjadi pada anak yang orangtuanya bercerai," ujarnya.
Seorang anak laki-laki membutuhkan figur ayah untuk mempelajari hal-hal yang tidak dia dapatkan dari ibunya, begitu pun dengan anak perempuan, ada sesuatu yang dia butuhkan dari kehadiran figur ayah, misalnya bagaimana relasi interpersonal pria dan wanita.
"Setelah remaja atau dewasa, anak-anak ini mungkin saja tumbuh menjadi anak yang permisif, tertutup, pemalu atau justru agresif sekali pada lawan jenis," jelas Lifina. Untuk itu ia menyarankan agar si ibu memperkenalkan dan membiarkan si anak meluangkan waktu bersama pria yang riil, seperti kakek, paman atau teman-teman ibunya sehingga si anak tidak sepenuhnya kehilangan figur ayah.

Penghayatan si ibu
Kesiapan si ibu dalam menjalani perannya sebagai orangtua tunggal juga akan mempengaruhi bagaimana dia bersikap terhadap anaknya. Para ibu yang tidak siap dengan keadaan dan merasa terpaksa menjalaninya akan cenderung menyalahkan kehadiran si anak.
Belum lagi jika si ibu memiliki sifat pencemas dan mudah panik, hal ini tentu saja berpengaruh pada si anak, terlebih anak- anak masih memiliki keterbatasan kemampuan dalam berkomunikasi dan mengekspresikan perasaannya. Di sinilah diperlukan komunikasi terbuka dan kepekaan dari si ibu untuk menggali perasaan si anak dan mencari tahu apa kebutuhan anaknya.
Menjadi orangtua tunggal berarti harus siap menjadi tulang punggung keluarga, tak jarang karena ingin memenuhi kebutuhan finansial, seorang ibu bekerja terlalu keras sehingga tidak punya waktu lagi untuk anak-anaknya.
Jika si anak terlalu akrab dengan pengasuhnya dan menolak Anda peluk atau gendong, mungkin sudah saatnya Anda mengevaluasi kembali prioritas waktu yang Anda jalani selama ini. Memang diperlukan energi dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk memastikan karir, kehidupan pribadi sekaligus kedekatan dengan anak tetap lancar. Tetapi bukankah anak adalah segalanya bagi seorang ibu ?
Tak perlu berbohong
Perlahan tapi pasti, Anda akan sampai pada satu titik di mana si anak akan mempertanyakan di mana ayahnya. Bagi ibu yang bercerai atau menjanda karena suaminya meninggal, tentu tidak akan terlalu sulit menjelaskan. Tetapi si ibu yang memang memilih tidak menikah tentu menghadapi dilema ketika harus menjelaskan pada si anak siapa ayah mereka sesungguhnya.
"Untuk menjawab pertanyaan si anak tentang asal-usulnya, sebaiknya si ibu menyesuaikan dengan usia si anak untuk mencerna," ungkap Lifina. Jika si anak masih balita, carilah media yang ia mengerti untuk masuk ke topik, misalnya saat menonton film animasi katakan, "Barnie dan Spongebob juga tidak punya ayah. Kamu tidak punya ayah, tapi punya mama, kakek, nenek serta om dan tante yang sayang sekali sama kamu."
Tak sedikit para single mom yang memilih melakukan white lie kepada anaknya dengan dalih akan menjelaskan secara jujur jika kelak si anak sudah dewasa. Namun, Lifina menyarankan agar si ibu berkata terus terang kepada anak. Akan lebih baik jika si anak mendengar langsung dari ibunya daripada mendengar bisik-bisik di lingkungannya.
Pihak sekolah juga bisa membantu memberi pemahaman kepada anak-anak bahwa yang dimaksud dengan keluarga tidak selalu terdiri dari ayah dan ibu. Lebih baik lagi jika anak bersekolah di sekolah yang heterogen sehingga ia makin terbiasa dengan perbedaan.
Seorang anak yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu tetapi sang ibu secara konsisten merawat si anak dengan penuh kasih sayang dan tidak menelantarkannya kondisinya jauh lebih baik dibandingkan seorang anak yang besar dalam keluarga yang lengkap tetapi orangtuanya bertengkar setiap hari.

Penulis: Anna
Sumber : www.kompas.com

Anak-anak dari Orangtua Bercerai: Jangan Diberi Label, Jangan Dihakimi

Suatu petang, Bram (16) bercerita pada ibunya tentang guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) di sekolah yang tiba-tiba memanggilnya dan mengajaknya bicara. Begitu bertatap muka, guru itu langsungmenanyakan apakah ia baik-baik saja.Bram bingung. Ia merasa hidupnya biasa- biasa saja. Namun ia terusditanya, bagaimana keadaannya di rumah, kenapa ayah dan ibunyaberpisah, apakah ia merasa kesepian, dan banyak pertanyaan lainnya,yang secara halus memancing-mancing agar Bram menceritakan segalasesuatu tentang dirinya kepada ibu guru BP-nya."Aku heran kok guru BP-ku begitu," ujar Bram, seperti ditirukan ibunya, Ratri (43). Mula-mula Bram mendengarkan saja kata guru BPitu. "Tapi lama-kelamaan, ia merasa tidak tahan lagi. Lalu diabilang, ’Ibu, saya baik-baik saja. Hidup saya mungkin jauh lebihbaik dari anak-anak lain yang masih ada ayah-ibunya di rumah, tetapimereka setiap hari berantem’," ujar Ratri, menirukan ucapan anaknya saat itu.
Kejadian itu, menurut Ratri, sebenarnya sudah terjadi lebih setahunlalu. "Tapi Bram baru bilang saya beberapa hari lalu. Dia sangatpandai menjaga perasaan saya. Dia tidak ingin saya jadi banyak mikir," lanjutnya.
Anak satu-satunya pasangan Ratri dan Pram (bukan nama sebenarnya) itu memang termasuk tipe pendiam. Ia tidak suka hura-hura dan suka sekali membaca, meskipun ia juga suka main musik bersama teman-temannya. Prestasi sekolahnya luar biasa. Selama di SMA ia terus mendapat beasiswa karena nilai-nilainya sangat bagus, khususnya dibidang ilmu pasti.
Ratri dan Pram hidup terpisah sejak Bram berusia empat tahun. Prammelanjutkan studinya ke AS, sementara Ratri dan Bram tetap di Jakarta. Setahun kemudian mereka menyusul ke AS, tetapi Ratri hanyabertahan enam bulan di tempat itu.Hidup bersama suaminya yang ia jalani secara intensif di negeriorang membuat Ratri melihat sisi-sisi lain dari Pram yang tak pernahia lihat sebelumnya. Ia tidak mau keadaannya menjadi lebih buruk.Maka, ia pun memutuskan pulang ke Tanah Air bersama Bram. Sejak itu hidup mereka praktis berpisah, meskipun perpisahan secara legal baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah Pram berhasil mengambil gelar Doktor-nya.
Perpisahan Didit dan Mira (bukan nama sebenarnya) tidak terhindarkansetelah 19 tahun perkawinan mereka. Namun, kekhawatiran Mira akan perkembangan anak sulungnya tidak beralasan. Tidak ada satu guru punyang berubah sikap pada Riza (17). Prestasinya di sekolah tidak terganggu. Ketika lulus ia berada di deretan terbaik dari semua murid di sekolahnya. Bahkan, ia mendapat penghargaan khusus sebagai anak yang paling peduli pada sesamanya.
"Riza seperti ingin mengatakan pada saya, ’Saya baik-baik saja, Bu. Ibu tidak perlu khawatir’," ujar Mira beberapa waktu lalu. Anak itu menjadi teman ibu dan ayahnya yang kini hidup terpisah.
BANYAK penelitian, salah satunya diterbitkan oleh Journal of Marriage and Family edisi Agustus tahun 2001, menemukan bahwa perceraian orangtua membawa dampak negatif pada banyak anak.Psikolog Rieny Hassan bisa menerima hasil penelitian seperti itudalam beberapa hal. "Harus diakui, perceraian membawa dampak padaanak. Paling tidak, rasa aman mereka terbelah," ujarnya.Namun, sebenarnya hal itu tergantung pada banyak hal. Rieny
menjelaskan, pertama adalah usia anak ketika terjadi perceraian.Kedua, kematangan orangtua menyikapi perpisahan mereka dan ketika menjelaskan pada anak mengapa mereka harus berpisah.
Berapa pun usia anak, menurut Rieny, orangtua harus memberi tahu secara perlahan mengapa mereka harus berpisah. Seperti Ratri yang menjelaskannya setahap demi setahap sesuai dengan perkembangan usiaBram.
"Saya mencoba menjelaskan bahwa kami tidak cocok satu sama lainsehingga berpisah adalah cara yang terbaik," sambungnya. Namun,Ratri juga meyakinkan Bram bahwa anak itu tidak akan pernah kehilangan ayah dan ibunya. Hanya kini ayah dan ibunya tidak tinggal serumah lagi.
Setelah keputusan untuk berpisah itu, kehidupan Ratri tidak mudah.Ia harus kembali membangun kariernya dari awal, tanpa apa pun, kecuali semangat untuk hidup. Kekuatan Ratri ditopang oleh Bram kecil yang selalu berada di sisinya.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Ratri dan Pram membaik. Merekaberdua kini seperti teman yang bersama- sama bertanggung jawab membesarkan anak mereka dengan cara mereka sendiri. Hubungan Pramdengan Bram juga semakin dekat. Semakin dewasa, Bram makin memahami siapa ayahnya dan siapa ibunya, yang sampai kini keduanya masih hidup sendiri.
"Suatu hari, sepulang berlibur dengan ayahnya, ia bilang, ’Papa orang baik. Mama juga orang baik. Tapi kalian memang beda’," ujarRatri menirukan Bram.
Upaya untuk menjelaskan situasi yang dihadapi juga dilakukan oleh Nancy (36) terhadap anaknya, Adit (11). Suami Nancy melanjutkan studi ke luar negeri dan kemudian menghilang tanpa berita. Usia Aditwaktu itu masih 1,5 tahun. "Waktu kecil mungkin dia masih tidak tahu karena masih ada eyang kakungnya. Tapi semakin besar, mulai kelas I SD kalau enggak salah, ia mulai bertanya tentang ayahnya," kenang Nancy.Saat itu Adit mendapat tugas untuk membuat pohon keluarga. Namun di kelas, pohon yang dibuat Adit dimasalahkan karena tidak ada ayah disana. Nancy tahu benar kebingungan Adit, yang melihat ada foto perkawinan orangtuanya, tetapi ia tak pernah tahu di mana ayahnya."Tiap tahun ia tanyakan sesuatu yang menyangkut ayahnya. Makin lama pertanyaannya makin sulit dan saya semakin harus hati-hati menjawab.
Tahun ini, misalnya, ia bertanya apakah orang yang memutuskan pergibegitu saja berarti sudah tidak sayang lagi," ungkap Nancy."Saya tidak ingin Adit mewarisi kesakitan saya," lanjut Nancy. Olehkarena itu, ia akan menjelaskannya dengan hati- hati, setahap demisetahap sampai Adit paham betul apa yang dialami ibunya. Nancy juga berusaha membuat Adit memahami dirinya tanpa rasa kecewa dan sedih.Itu tentu bukan tugas yang ringan. Seperti dikatakannya, "Semakin besar dia, semakin tidak mudah ia menerima jawaban saya.". Persoalan terakhir yang ditemui Nancy adalah formulir pendaftaran ulang Adi. "Dari dulu saya tidak pernah mengisi kolom ayah. Tapi sekarang tiba- tiba ada keharusan mengisinya. Padahal buat saya, itu menyangkut soal prinsip. Saya tidak mau mengubur suami saya karena saya tidak tahu ia masih hidup atau sudah meninggal. Saya hanya
ingin mengubur masa lalu saya," kata Nancy.
Ia memahami konsep "kesakralan" keluarga yang dianut banyak orang. Konsep itu pula yang sesungguhnya mendera Adit. "Kalau di kelas ada penjelasan guru menyangkut soal keluarga, misalnya, Adit selalu dicecer," lanjut Nancy.
Beruntung Adit selalu bercerita kepadanya tentang apa saja. "Adit tumbuh seperti anak-anak lainnya. Pintar banget enggak, biasa-biasasaja. Dia menjadi teman saya yang ceria. Kami saling memiliki. Jadi,tidak ada yang harus dikasihani," lanjutnya.
"IDEALNYA anak dari orangtua yang bercerai tidak harus seperti
cermin retak," ujar Rieny.Persoalannya adalah masyarakat di luar lingkungan mereka. Seorang mentor dari pusat pendidikan dan pelatihan suatu kantor mengingatkan pelatih yang lain tentang salah satu dari pegawai baru yang sedang
mengikuti pelatihan. "Dia pandai, tapi agak sulit dan sangatsensitif. Mungkin karena orangtuanya bercerai, dan ia dibesarkanoleh ibunya," begitu antara lain komentar mentor itu.Padahal bisa jadi anak itu sensitif karena ia memang sensitif. "Brampendiam karena ia memang pendiam. Ia lebih mirip saya dibandingkan
ayahnya," ujar Ratri.
Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa korban dari perceraian orangtua adalah anak-anak. "Mereka bisa menjadi seperti barang yangdiperebutkan," ujar Ratna Juwita, psikolog dari Universitas Indonesia.
Tahapan yang dilewati Bram dan Reza, sampai mereka bisa menerima bahwa yang terbaik bagi orangtua mereka adalah berpisah, memangtidak banyak terjadi.
"Banyak pasangan yang kemudian terus menyimpan rasa kecewa, marah,bahkan dendam. Lalu anak-anak menjadi obyek manipulasi orangtuanyayang saling menyalahkan dan saling merasa benar sendiri," sambungRieny.
Hanya kalau orangtua cukup matang dan bisa mengambil jarak dari pengalaman mereka, anak punya ruang untuk memahami perpisahan orangtuanya.Namun, tetap saja ada bagian dari masyarakat yang "menghukum" anak-anak itu. Anak- anak produk keluarga yang bercerai kerap kali mendapat "label" khusus. "Seakan-akan anak dari keluarga yang bercerai pasti tidak bisa bahagia, pasti begini, pasti begitu,"sambung Ratna.
Menurut Ratna, di AS dan banyak negara maju lainnya, anak yang lahir di luar nikah pun dilindungi penuh oleh undang-undang dan hak-haknya sebagai anak dipenuhi. "Mereka punya hak untuk berkembang secara wajar dan mempunyai kesempatan yang sama terbukanya dengan teman-temannya yang dilahirkan dari orangtua yang lengkap," ujarnya.Di Indonesia anak-anak itu seperti tak hanya diberi label, tetapi juga stigma yang terus dibawa sepanjang hidup. Kemajuan yang diadopsi masyarakat dari Barat hanya dipegang "ujung- ujung"-nya
karena tidak mampu memaknai kesetaraan sebagai manusia. Ketidakmampuan ini dalam banyak hal, ditunjang oleh norma-normatertentu yang masih dikukuhi sebagian besar anggota masyarakat."Setiap generasi di masyarakat kita memegang norma yangberbeda-beda," lanjut Ratna. Dulu, orang hanya bercerai kalausituasinya sudah benar-benar ekstrem. "Orangtua kita selalu mengingatkan, apa pun yang terjadi jangan sampai bercerai. Pada kita juga dicekokkan ’kalau ada masalah di dalam rumah tangga jangan sampai keluar’," sambungnya. Hal-hal seperti ini tak bisa lagi diterapkan secara ketat saat ini karena perubahan pandangan,terutama ketika orang semakin memahami hak-hak asasinya sebagai manusia.
Orang yang dibesarkan dengan norma ketat tentang "kesakralan"keluarga pasti punya pandangan yang sangat khas tentang keluarga danmenjunjung tinggi nilai "harmoni", sekalipun kehidupan di dalamrumah tangga lebih mirip "neraka kecil". Pada generasi itu, pandangan terhadap perkawinan cenderung konvensional. "Sehinggamereka punya anggapan, anak dari keluarga bercerai tidak mungkin
bahagia," kata Ratna. Ratna melihat masih banyak guru dan lingkungan di sekolah yangdibesarkan dengan norma seperti itu. Akibatnya, mereka akan terusberusaha mengorek situasi seorang anak yang orangtuanya bercerai."Mungkin maksudnya baik. Namun sebenarnya justru sangat mengganggu anak itu," sambungnya. Pada banyak keluarga saat ini, khususnya pada keluarga yang cukup berpendidikan, mereka tidak mau menunggu sampai situasi hubungan di dalam keluarga menjadi sangat ekstrem. Kalau perempuan merasa perkawinannya tidak bisa lagi dipertahankan, ia akan berani mengambil keputusan supaya anak tidak terlalu lama menjadi korban dari situasi itu.
"Orangtua yang memutuskan bercerai akan berusaha keras mengurangi dampak negatif perceraian itu terhadap anak- anak mereka," lanjut Ratna. Namun, Rieny punya catatan. "Sebagian besar perempuan yang berani mengambil keputusan adalah mereka yang mandiri secara ekonomi," ujarnya.
Dengan demikian, bukanlah hal yang luar biasa kalau banyak anak merasa lebih bahagia setelah orangtuanya bercerai. Kematangan orangtua dalam menjelaskan persoalan mereka membuat anak merasa tidak kehilangan apa pun dari perceraian orangtuanya, kecuali bentuk rumah tangga yang "berbeda" dibandingkan dengan sebelumnya.Pengalaman Ratri adalah contoh yang paling jelas.Meski demikian, menurut Ratna, setiap keluarga mempunyai kasusnya sendiri-sendiri. "Ada keluarga yang bisa mengelola situasinya setelah perceraian terjadi, ada yang tidak sanggup," ujarnya. Di dalam situasi di mana norma yang baru dan yang lama hidup bersama di masyarakat dengan tingkat pendidikan dan wawasan yang tidak
merata, mana norma yang lebih baik atau lebih buruk tidak relevan lagi dibicarakan. Yang terpenting, menurut Ratna, adalah bagaimana menumbuhkan dan memupuk toleransi."Toleransi bahwa ada keluarga-keluarga yang bentuk kehidupannya berbeda. Ada anak yang punya dua ibu, atau dua ayah, atau dua ayah, dua ibu, atau satu ayah satu ibu tapi berpisah, atau satu ibu tanpa ayah, atau sebaliknya. Tidak ada yang salah pada anak-anak itu,"sambungnya. Ia melanjutkan, "Jangan menilai. Jangan menghakimi. Kita harus belajar menerima pluralisme dari berbagai bentuk kehidupan, seperti kita menerima pluralisme suku, etnis, golongan, agama, ras, dan lain-lain." Nah! (MH)

Oct 4, 2006

Perceraian dan Kesiapan Mental Anak


Mama….kenapa kita sekarang tinggal bersama Kakek dan Nenek? Papa tinggal di mana, Ma? Kasihan ya Papa tinggal sendirian, nggak sama kita lagi. Papa pasti kesepian deh, Ma. Yuk kita tinggal bareng Papa lagi, Adek kangen... deh sama Papa.

Membaca percakapan di atas, tentulah kita sudah bisa membayangkan apa yang merjadi dalam keluarga tersebut. Apalagi kalau bukan perceraian. Angka perceraian di Indonesia mungkin tidak setinggi di Amerika Serikat (66,6% perkawinan berakhir dengan perceraian) ataupun di Inggris (50%), tapi kita tahu bahwa di Indonesia pun banyak perkawinan berakhir dengan perceraian, apalagi kalau melihat berita-berita tentang perceraian selebritis Indonesia akhir-akhir ini.

Kesiapan Anak Menghadapi Perceraian
Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup.

Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Tidak demikian halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Tiba-tiba saja Papa tidak lagi pulang ke rumah atau Mama pergi dari rumah atau tiba-tiba bersama Mama atau Papa pindah ke rumah baru. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah Mama dan Papa sering bertengkar, bahkan mungkin ada anak yang tidak pernah melihat orangtuanya bertengkar karena orangtuanya benar-benar rapi menutupi ketegangan antara mereka berdua agar anak-anak tidak takut.

Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.

Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak terhindarkan lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan oleh orangtua (Mama dan Papa) untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Dengan kata lain bagaimana orangtua menyiapkan anak agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat perceraian.

Sebelum Berpisah
Sebelum perceraian terjadi, biasanya didahului dengan banyak konflik dan pertengkaran. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa ditutup-tutupi sehingga anak tidak tahu, namun tidak jarang anak bisa melihat dan mendengar secara jelas pertengkaran tersebut. Pertengkaran orangtua, apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka melihat orangtuanya bertengkar, karena hal tersebut hanya membuatnya merasa takut, sedih dan bingung. Kalau sudah terlalu sering melihat dan mendengar pertengkaran orangtua, anak dapat mulai menjadi pemurung. Oleh karena itu sangat penting untuk tidak bertengkar di depan anak-anak.

Ketika Akhirnya Berpisah
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam bathin anak-anak. Pada masa ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru.

Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah:
tidak aman (insecurity),
tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi,
sedih dan kesepian,
marah,
kehilangan,
merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.

Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku:
suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya,
menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul,
sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di
sekolah cenderung menurun,
suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.

Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahun-tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis.


Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah:
menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak lagi bersama dan tidak lagi
berfantasi akan persatuan kedua orangtua,
dapat menerima rasa kehilangan,
tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri,
menjadi dirinya sendiri lagi.

Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua
Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua menghadapi perceraian, pola asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak karena hal tersebut tergantung pada pribadi masing-masing anak, tetapi sebagai orangtua mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan kedua orangtuanya.

Di bawah ini adalah beberapa saran yang sebaiknya dilakukan orangtua agar anak sukses beradaptasi, jika perpisahan atau perceraian terpaksa dilakukan:
Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segeralah memberi tahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama Mama dan Papa, tapi hanya dengan salah satunya.

Sebelum berpisah ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru (jika harus pindah rumah). Kalau anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya.
Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari si anak tidak berubah. Misalnya: tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajak pergi jalan-jalan.

Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar.

Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salah si anak.
Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintai anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan cara: berkunjung, menelpon, mengirim surat atau kartu. Buatlah si anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di hati orangtuanya.

Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya itu.

Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua
yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut.

Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi dan konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua membuat anak percaya bahwa ia dikasihi dan inginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa perasaan-perasaan ditolak dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak dengan orangtua yang pergi.


Tidak saling mengkritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak.

Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua, menyuruh anak berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik akan membuatnyabingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan.


Tidak menjadikan anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang pergi untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan; atau tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak supaya pihak yang pergi merasa sakit hati,sebagai usaha membalas dendam.

Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan.

Memperkenankan anak untuk mengekspresikan emosinya. Beresponlah terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan mereka bertanya, jawablah pertanyaan tersebut baik-baik, dan bukan mengatakan "anak kecil mau tahu saja urusan Mama Papa".

Dari saran-saran di atas terlihat jelas betapa pentingnya kerja sama orangtua agar anak dapat beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan orangtua bagi sang anak. Saran-saran di atas bukanlah hal yang mudah dilakukan, apalagi jika perceraian diakhiri dengan perselisihan, ketegangan dan kebencian satu sama lain. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian tersebut. Tapi jika itu dilakukan, berarti orangtua sungguh-sungguh merupakan individu egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Mungkin ada yang berpikir "Anak saya baik-baik saja kok, dia tidak apa-apa meskipun tidak ada ibunya/ayahnya. Lihat dia ceria-ceria saja, badannya sehat, sekolahnya juga rajin". Tapi tahukah Anda apa sebenarnya yang ada dalam hati sang anak?

Kalau perceraian memang tak terhindari lagi, maka mari membuat perceraian tersebut menjadi perceraian yang tidak merugikan anak. Suami-istri memang bercerai, tapi jangan sampai anak dan orangtua ikut juga bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orangtua dan menginginkan kedua orangtuanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak, rasa percaya diri, rasa diterima dan bangga pada dirinya sendiri bergantung pada ekspresi cinta kedua orangtuanya. Bagi Anda yang akan, sedang atau telah bercerai, cobalah untuk selalu mengingat hal tersebut dan masa depan anak-anak Anda. Perhatian berupa materi memang perlu, namun itu saja sangat tidak memadai untuk membuat anak mampu beradaptasi dengan baik. Jangan lagi menjadikan negeri ini semakin carut marut dengan membiarkan anak-anak kita yang tidak berdosa menjadi terlantar. (jp)

Oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Jakarta, 18 April 2002

Tips: Piawai Menjadi Orangtua Tunggal


Salah satu persoalan bagi orang tua tunggal adalah mengatur waktu antara mencari nafkah dan mengawasi keseharian anak. Bekerja paruh waktu merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah itu. Dengan cara itu,Anda dapat mengawasi anak selama waktu-waktu istirahat, sekaligus bekerja. Saat ini ada banyak lapangan pekerjaan yang flexibel.

Anda dapat bekerja sementara anak Anda bersekolah, dan Anda bisa pulang saat anak belum tiba di rumah. Anda bisa juga memilih pekerjaan/freelance/ yang dapat dilakukan dari rumah, jadi pastikan menggalisemua kemungkinan untuk membuka peluang usaha.

Atau Anda bekerja hanya hari Senin, Rabu dan Jumat saja. Bisa juga pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Selain itu Anda bisa juga mengatur usaha hanya pada pagi atau sore saja. Yang jelas, Anda dituntut untuk menjadiorang yang kreatif dan fleksibel dalam mengelola waktu kerja.

*Tepat pilih pengasuh*.
Menjadi orang tua tunggal, tentu akan memotong waktu kebersamaan Anda dengan anak. Karena waspadai orang-orang yang berpengaruh terhadap keberadaan anak-anak. Yang jelas jangan pernah membiarkan anak-anak sendirian di rumah. Jika ada ibu Anda, tentu tak masalah. Tapi jika tidak, Anda perlu untuk mencari pengasuh bagi anak Anda. Namun perlu Anda perhatikan, sikap dan komitmen seperti apa yang dia miliki dalam mengasuh anak Anda. Gaya dan sikap hidup seperti apa yang mereka miliki? Anda perlu tahu juga hal-hal seperti apa yang diizinkan pengasuh anak-anak? Dengan begitu Anda tetap bisa memantau perkembangan anak.

*Anak sebagai sahabat.*
Sesibuk apa pun, Anda harus tetap bisa menjalin komunikasi dengan anak. Manusia sanggup mencintai dan dicintai; iniadalah hal penting bagi pertumbuhan kepribadian. Kehangatan persahabatan, ketulusan kasih sayang, dan penerimaan orang lain amat
dibutuhkan manusia. Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Kasih sayang yang tak terpenuhi akan menimbulkan perilaku anak kurang baik. Anak akan menjadi agresif, kesepian, frustrasi, bahkan mungkin bunuh diri. Maka Anda perlu berkomunikasi dengan anak, agar dia tidak merasa kesepian. Anda bisa mendengarkan cerita anak, dan sebaliknya Anda juga menceritakan apa yang sedang Anda alami. Jadikanlah anak sebagai sahabat.

*Rileks dan gembira.*
Setiap orang memerlukan waktu spesial untuk menyendiri. Ini juga yang nyata-nyata dibutuhkan orang tua tunggal. Berkorban bagi anak-anak akan meningkatkan kualitas hubungan Anda dan anak. Namun Anda perlu juga memikirkan waktu untuk Anda sendiri.Seseorang akan lebih dapat menahan amarah dan menjadi lebih sabar jika
punya waktu untuk merefleksi dirinya atau mengendurkan syaraf-syaraf otak. Beberapa ibu tunggal memiliki kecenderungan mudah merasa bersalah, jika mereka mempunyai waktu untuk bergembira dan menikmati hidup. Padahal suasana itu sangat penting untuk menjaga emosi Anda. Jadi jangan beranggapan bahwa Anda terlalu memanjakan diri, jika sekali waktu Anda bergembira atau /refreshing/. Ingat jangan merasa bersalah jika Anda
bergembira. Karena itu baik untuk pengasuhan anak Anda. Waktu istirahat yang cukup, rileks, termasuk rekreasi akan menjaga kenyamanan keluarga Anda.

*Jangan ceraikan anak.*
Menurut psikolog yang banyak menangani masalahpernikahan, Dra Sawitri Sapardi Sadarjoen, Anda perlu meyakinkan anak bahwa orang tua tetap mencintai anak meski telah bercerai. Istri yang tinggal bersama anak harus memperbolehkan anak bertemu dengan ayah kandungnya. Yakinkan padanya, Anda menyetujui pertemuan tersebut dan
menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut.
Selain itu, anda bisa merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi, dan konsisten antara anak dan orang tua. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orang tua kandung. Menurut Sawitri, itu akan membuat anak percaya bahwa dia dikasihi dan dicintai. Memang Anda bercerai, tapi jangan sampai anak
menceraikan anak dengan ibu atau bapaknya. Anak-anak sangat membutuhkan cinta anda berdua.

*Jangan bebani anak.*
Anda harus hati-hati untuk tidak mendewasakan anak terlalu dini, sehingga dia kehilangan masa kanak-kanaknya. Ada kecenderungan orang tua tunggal akan bergantung pada anak yang lebih tua untuk menjaga adik-adiknya. Anak kadang dilarang untuk bermain, hanya untuk menekan dia agar membantu orang tuanya. Kadang kala itu diletakkan pada pundak anak laki. Sebenanrnya cara itu tidak sehat karena anak belum sanggup untuk memikirkan masalah kehidupan. Dia belum mampu untuk memikul kesedihan dan beban yang berat itu. Biarkanlah dia asyik dengan dunia anak-anaknya.

*Luangkan waktu*.
Menjadi orang tua tunggal terbilang susah-susah gampang. Anda bisa mencontoh pemain sinetron Adjie Pangestu. Mantan suami Annisa Tri Hapsari--dulu Banowati--itu membesarkan putranya, Rafi Akbar Putra Pangestu seorang diri. Adjie terbilang lihai menangani anaknya yang baru berusia lima tahun. Rafi terlihat akrab dan dengan senang hati mematuhi perintah Adjie. Kegiatan Adjie setiap pagi adalah membangunkan Rafi. Dengan penuh kasih sayang, Adjie membangunkan Rafi di kamar tidurnya. Bercanda, mendengarkan mimpi Rafi. Setelah itu, Adjie mengajak Rafi mandi. Adjie mempunyai tip khusus untuk memandikan anak. Dia melarang anaknya membawa mainan dalam kamar mandi. Alasannya, supaya tak berlama-lama di kamar mandi. Setelah mandi dan gosok gigi, Rafi dibopong ke kamar tidurnya untuk dibedaki dan dipakaikan baju. Mantan Abang Jakarta ini kemudian mengajak Rafi bermain. Setelah itu, mereka kemudian sarapan. Dan Adjie telah siap mengantarkan anaknya pergi sekolah.

*Pelihara keintiman.*
Langkah yang harus Anda lakukan terus-menerus adalah memelihara keintiman, jangan sampai berkurang. Memang tak mudah, karena Anda harus memikul beban finansial keluarga. Dengan kata lain ada banyak keterbatasan untuk menjalin komunikasi dengan si anak. Meski begitu, Anda harus tetap melakukan. Misalnya seminggu sekali pastikan Anda dan anak-anak keluar bersama, ke mall, atau ke toko buku. Bisa juga ngobrol bersama sambil makan malam. Kalau tidak, sekurang-kurangnya setiap malam 30 menit saja sebelum tidur bisa bicara dari hati ke hati dengan anak-anak. Jadi kedekatan dengan si anak adalah modal yang sangat berperan besar untuk mengurangi potensi konflik sewaktu si anak-anak itu menginjak usia remaja. Cuma biasanya, rasa lelah membuat Anda lalai.
*(cn02)*
Copyright © 2004 SUARA MERDEKA
sumber :http://www.suaramerdeka.com/cybernews/wanita/tips/tips10.html
gambar :
http://www.singleparentlove.com/images/content_image.jpg

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails