Meski tak punya kuasa asuh anak, bukan berarti Anda tak bisa mengoptimalkan pengasuhan si kecil. Tunjukkan Anda orang tua yang oke!
Belum lagi luka mengering setelah suaminya Bob mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, Anna harus menghadapi kenyataan pahit. Bob mendapat hak kuasa asuh anak mereka. Meski di pengadilan, Anna dinyatakn punya hak bertemu anaknya secara rutin dan memantau perkembangannya, kenyataan berbicara lain. Sulit sekali ia bertemu Dea, putrinya. Anna merasa dipersulit untuk bertemu buah hatinya yang berusia 3 tahun. Apa yang terjadi pada Anna adalah masalah klasik orang tua, entah ayah atau ibu, yang tak mendapat hak kuasa asuh anak. Jika hal ini terjadi pada Anda, apa yang Anda lakukan? Benarkah Anda tak bisa berbuat apa-apa karena tak mendapat hak kuasa asuh?
Harus lapang dada
Siapa tak ingin perkawinannya berjalan bahagia hingga akhir hayat? Kenyataaannya tak jarang pasangan memilih bercerai sebagai penyelesaian masalah perkawinan mereka. Contohnya pasangan Rahmat (40 tahun) bukan nama sebenarnya, dan Alicia (34 tahun). Mereka mengakhiri kehidupan perkawinan setelah melalui penyelesaian masalah berlarut-larut. Sejak di-PHK massal, Rahmat seringkali bertengkar soal uang dengan istrinya. Bertahun-tahun masalah itu seolah tak kunjungan berhenti hingga mereka memutuskan cerai di awal tahun 2005. Berdasarkan keputusan pengadilan, hak asuh dua anak pasangan ini, Ridzky (9 tahun) dan Renaldi (5 tahun), jatuh ke tangan Alicia. Meski sedih menerima keputusan pengadilan karena harus berpisah dengan anak, namun Rahmat menerimanya. Rahmat berpikir ia dan mantan istrinya bisa membuat jadwal yang adil agar bisa bertemu anak-anak mereka. Tentu tidak mudah menerima keputusan harus berpisah dengan darah daging sendiri, seperti dialami para ibu atau ayah yang tidak mendapatkan hak kuasa asuh anak. Walau begitu, sebagaimana dikatakan Dra. Ira Petranto, Psi, MM, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), kenyataan pahit tersebut harus diterima dengan lapang dada.
Menurut Ira, orang tua sebaiknya menghindari saling rebut anak demi si kecil. Bisa dibayangkan jika anak memiliki dua tempat tinggal dan harus berpindah-pindah demi memuaskan egoisme orang tua, pastinya kondisi yang tak stabil itu sangat buruk bagi perkembangan anak. Menerima kenyataan orang tua bercerai saja sulit bagi si kecil, apalagi menghadapi kenyataan hidup yang tak stabil. Jika kehidupan perkawinan berantakan, apakah Anda rela menghancurkan kehidupan si kecil juga?
Siapa tak ingin perkawinannya berjalan bahagia hingga akhir hayat? Kenyataaannya tak jarang pasangan memilih bercerai sebagai penyelesaian masalah perkawinan mereka. Contohnya pasangan Rahmat (40 tahun) bukan nama sebenarnya, dan Alicia (34 tahun). Mereka mengakhiri kehidupan perkawinan setelah melalui penyelesaian masalah berlarut-larut. Sejak di-PHK massal, Rahmat seringkali bertengkar soal uang dengan istrinya. Bertahun-tahun masalah itu seolah tak kunjungan berhenti hingga mereka memutuskan cerai di awal tahun 2005. Berdasarkan keputusan pengadilan, hak asuh dua anak pasangan ini, Ridzky (9 tahun) dan Renaldi (5 tahun), jatuh ke tangan Alicia. Meski sedih menerima keputusan pengadilan karena harus berpisah dengan anak, namun Rahmat menerimanya. Rahmat berpikir ia dan mantan istrinya bisa membuat jadwal yang adil agar bisa bertemu anak-anak mereka. Tentu tidak mudah menerima keputusan harus berpisah dengan darah daging sendiri, seperti dialami para ibu atau ayah yang tidak mendapatkan hak kuasa asuh anak. Walau begitu, sebagaimana dikatakan Dra. Ira Petranto, Psi, MM, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), kenyataan pahit tersebut harus diterima dengan lapang dada.
Menurut Ira, orang tua sebaiknya menghindari saling rebut anak demi si kecil. Bisa dibayangkan jika anak memiliki dua tempat tinggal dan harus berpindah-pindah demi memuaskan egoisme orang tua, pastinya kondisi yang tak stabil itu sangat buruk bagi perkembangan anak. Menerima kenyataan orang tua bercerai saja sulit bagi si kecil, apalagi menghadapi kenyataan hidup yang tak stabil. Jika kehidupan perkawinan berantakan, apakah Anda rela menghancurkan kehidupan si kecil juga?
Diatur hukum
Perebutan hak asuh anak semestinya tak perlu terjadi. Pengasuhan anak paska perceraian orang tua sebenarnya diatur secara hukum. Zaimah Husin, SH, staf pelayanan hukum LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan Jakarta), menyatakan ketika terjadi perceraian, dalam Undang Undang Perkawinan (baik dalam kompilasi hukum Islam maupun dalam hukum sipil) biasanya hak asuh anak di bawah usia 12 tahun diserahkan pada ibu, kecuali jika ibu berperilaku tidak baik (pemadat, peminum atau lainnya) dan bukan ibu yang baik. Selain sebab tersebut, ada hal-hal lain yang bisa menyebabkan hak asuh tak jatuh ke tangan ibu, seperti ibu keluar rumah tanpa membawa anak, atau hakim melihat kedekatan ayah dengan anak dibanding pada ibunya. Berbeda dengan kasus perkawinan antarbangsa. Para ibu orang Indonesia dalam perkawinan tersebut tidak mendapatkan hak kuasa asuh anak. Menutur Maya Miranda Ambarsari, SH, MIB, Ketua I Perkumpulan Srikandi, itu terjadi karena hukum di Indonesia, anak yang lahir dari perkawinan antarbangsa langsung mengikuti garis ayahnya, karena hukum di Indonesia menganut ius sanguinis (kewarganegaraan berdasarkan darah). (note: Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Perebutan hak asuh anak semestinya tak perlu terjadi. Pengasuhan anak paska perceraian orang tua sebenarnya diatur secara hukum. Zaimah Husin, SH, staf pelayanan hukum LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan Jakarta), menyatakan ketika terjadi perceraian, dalam Undang Undang Perkawinan (baik dalam kompilasi hukum Islam maupun dalam hukum sipil) biasanya hak asuh anak di bawah usia 12 tahun diserahkan pada ibu, kecuali jika ibu berperilaku tidak baik (pemadat, peminum atau lainnya) dan bukan ibu yang baik. Selain sebab tersebut, ada hal-hal lain yang bisa menyebabkan hak asuh tak jatuh ke tangan ibu, seperti ibu keluar rumah tanpa membawa anak, atau hakim melihat kedekatan ayah dengan anak dibanding pada ibunya. Berbeda dengan kasus perkawinan antarbangsa. Para ibu orang Indonesia dalam perkawinan tersebut tidak mendapatkan hak kuasa asuh anak. Menutur Maya Miranda Ambarsari, SH, MIB, Ketua I Perkumpulan Srikandi, itu terjadi karena hukum di Indonesia, anak yang lahir dari perkawinan antarbangsa langsung mengikuti garis ayahnya, karena hukum di Indonesia menganut ius sanguinis (kewarganegaraan berdasarkan darah). (note: Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
(sumber: http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.html))
Meski demikian, dalam tahap membicarakan hak asuh anak, setelah hakim menyatakan hak asuh jatuh ke tangan ayah atau ibu, ada kompromi. Semisalnya, ayah memiliki hak kunjung di akhir minggu. Hal ini tentu menyatakan secara tak langsung bahwa kedua orang tua punya tanggung jawab sama baik fisik maupun mental.
Anak korban ego
Mengorbankan anak dalam perceraian sebaiknya dihindarkan demi masa depan si kecil. Pastinya anak tak ingin kehilangan kasih sayang orang tua apa pun yang terjadi. Itulah yang dipikirkan Yessy (39 tahun), bukan nama sebenarnya, dan Andre (42 tahun) ketika merasa ada ketidakcocokan dan lantas memutuskan bercerai. Keduanya sangat menyayangi anak-anak mereka, dan memutuskan tetap utuh berperan sebagai orang tua bagi anak-anak mereka. Meski Yessy dan Andre sempat mengalami ketegangan sebagai pasangan, namun mereka sepakat tinggal berdekatan dan bahkan seringkali melewatkan liburan bersama sebagai keluarga. Sayangnya gambaran ideal suami-istri bercerai namun tetap menjadi orang tua yang baik ini tampaknya hanya dialami segelintir orang.
Rahmat termasuk yang tidak mengalami hubungan manis dengan mantan pasangan setelah bercerai. Ia sulit bertemu anak-anaknya karena dibatasi oleh mantan istrinya. “Untuk mengajak anak menginap bersama saja susah sekali,” kata pria yang bekerja paruh waktu sebagai staf pemasaran sebuah perusahaan asuransi ini. Tak jarang ia hanya diperbolehkan bertemu di luar pagar yang terkunci. Rahmat mengakui mantan istri membatasinya bertemu anak-anak mereka karena ia tidak memberi nafkah bagi dua anaknya secara langsung dan tidak terlibat dalam pendidikan mereka. Hal ini disadarinya meski ia punya alasan lain yakni menyimpan nafkah anaknya dalam bentuk tabungan pendidikan anak yang akan diserahkan kelak pada saatnya. Perceraian seharusnya tidak memutuskan tanggung jawab ayah maupun ibu dalam merawat dan memelihara anak. Namun, menurut Zaimah, biasanya dalam praktek, ego kedua pihak yang bicara sehingga anak jadi korban.
Padahal, seperti disebutkan Ira, tak ada istilah mantan orang tua atau mantan anak, meski ada mantan pasangan. Artinya, dengan atau tanpa hak asuh, mereka tetaplah orang tua bagi anak-anak. Jadi, ayah atau ibu tetap memiliki tanggung jawab sebagai orang tua yang mengasuh, mendidik dan merawat anak.
Bisa minta bantuan
Hak kuasa asuh anak bisa saja jatuh ke ibu atau ayah. Yang jelas, tentu, tak mudah bagi pihak yang tidak mendapatkan hak kuasa asuh menerima kenyataan berpisah dari si buah hati. Namun, menurut Ira, orang tua yang tak mendapatkan hak asuh, justru perlu membuktikan ia orang tua yang bertanggung jawab. Ira memberi contoh, apabila mungkin, alangkah baiknya bila orang tua yang tak memiliki hak asuh bisa mengantar atau menjemput anak pulang sekolah atau mengantar anak kursus. Dengan demikian, mantan pasangan dapat melihat itikad baik untuk memperlakukan anak dengan baik. Bisa jadi, dalam beberapa kasus, ketidakpiawaian ayah mengurus anak terlihat di sana-sini, sehingga membuat ibu khawatir anak tidak dirawat dengan baik ketika tinggal bersama ayahnya. Di sisi lain, Ira melihat peran ayah ketika masih dalam status perkawinan sekarang ini cukup besar dalam urusan mengasuh dan mendidik anak. Tak heran jika fenomena para ayah yang merasa kehilangan fungsi sebagai ayah dan ingin memperjuangkan hak asuh mereka terhadap anak, cukup besar.
Rahmat adalah salah satu ayah yang gigih memperjuangkan hak asuh anaknya. Suatu ketika ia dituduh mencuri anak keduanya, yang diajaknya pulang ke rumahnya, ketika dititipkan pada kakak mantan istrinya. Karena ia tidak memberi nafkah secara langsung pada anak, karena takut dipergunakan mantan istri untuk keperluan pribadinya, Rahmat merasa berada dalam posisi lemah. Memang tuduhan pencuri anak seringkali ditujukan, yang anehnya, pada mantan pasangan yang sebenarnya adalah orang tua si anak. Sekarang ini, Rahmat minta bantuan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) untuk bisa bertemu atau sekadar memantau anak-anaknya. Meski demikian sejak bulan Februari 2006, intensitas perjumpaan Rahmat dengan anak-anaknya sangat berkurang. Mereka hanya bisa berhubungan lewat telepon. Kesulitan ini tak membuat Rahmat mundur. Ia berusaha menjalankan perannya sebagai ayah meski melalui proses berbelit-belit.
Kondisi serupa dialami Vera, bukan nama sebenarnya, yang menikah dengan pria warga negara asing. Vera yang semasa hidup di negara suami harus bekerja keras membiayai kehidupan keluarga dari pagi hingga malam ini bercerai karena tak tahan dengan perlakuan semena-mena suaminya yang peminum. Ketika kembali ke Indonesia membawa anak mereka, suami Vera marah dan melaporkan pada polisi dengan dakwaan penculikan anak. Hukum di Indonesia memang tak berpihak pada wanita dalam perkawinan antarbangsa. Untungnya ketidakberpihakan ini akan segera berakhir. Saat ini di DPR tengah diproses RUU mengenai kesempatan anak-anak di bawah usia 18 tahun yang salah satu orang tuanya berkewarganegaraan asing untuk mendapatkan kewarganegaraan ganda
Tentu, bila hak kuasa asuh jatuh ke tangan mantan pasangan, bukan berarti hak Anda sebagai orang tua terputus. Bila Anda menjalankan tanggung jawab dengan baik, namun merasa dipersulit mantan pasangan untuk mengasuh anak, Anda masih bisa mengupayakannya secara hukum. Menurut Zaimah, pihak yang dipersulit bisa mengajukan gugatan balik ke pengadilan untuk meminta kejelasan hak asuh anak. Penerima hak kuasa asuh juga harus memahami bahwa dengan menerima hak kuasa asuh, bukan berarti anak mutlak miliknya sendiri, dan mengabaikan hak mantan pasangan.
Bagaimana jika mantan pasangan mengabaikan kesejahteraan anak? Untuk kasus ini Zaimah mengatakan bisa diajukan gugatan hak asuh anak dengan melaporkan tuntutan pengambilalihan hak asuh di pengadilan tempat kasus perceraian disidangkan.
Optimalkan pengasuhan
Bagaimanapun kompleksnya masalah Anda dan mantan pasangan, kepentingan si kecil jangan diabaikan. Anak tetap perlu kehadiran Anda dan mantan pasangan sebagai orang tuanya. “Orang tua yang tak mendapat hak kuasa asuh perlu memahami bahwa walaupun tidak memiliki hak asuh, ia tetap punya kewajiban membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Tidak hanya biaya hidup dan pendidikannya saja, namun juga kenyamanan hidup anak,” ujar Ira.
Pengalaman Andre bisa disimak. Meski tak mendapat hak asuh anak, tak jadi soal baginya untuk hadir dalam acara sekolah anaknya. Ia bahkan seringkali membuat acara khusus dengan si kecil tanpa mantan istrinya, selain di setiap akhir minggu kedua anaknya tinggal bersamanya. “Pada dasarnya ayah memang memiliki kompetensi cukup tinggi untuk mengasuh anak tanpa ibu dengan caranya sendiri. Anak juga bisa belajar dari ayahnya bagaimana cara mengatur keuangan, berpikir logis, dan bertahan dalam keterampilan hidup sehari-hari, seperti memasak sederhana atau mencuci pakaian,” ungkap Ira. Sementara dari ibu, anak belajar keterampilan-keterampilan halus seperti mempercantik interior, belanja, menghias rumah dan keterampilan lain yang umumnya didominasi wanita. Semua itu pastinya dibutuhkan anak untuk tumbuh secara utuh.
Meski demikian, dalam tahap membicarakan hak asuh anak, setelah hakim menyatakan hak asuh jatuh ke tangan ayah atau ibu, ada kompromi. Semisalnya, ayah memiliki hak kunjung di akhir minggu. Hal ini tentu menyatakan secara tak langsung bahwa kedua orang tua punya tanggung jawab sama baik fisik maupun mental.
Anak korban ego
Mengorbankan anak dalam perceraian sebaiknya dihindarkan demi masa depan si kecil. Pastinya anak tak ingin kehilangan kasih sayang orang tua apa pun yang terjadi. Itulah yang dipikirkan Yessy (39 tahun), bukan nama sebenarnya, dan Andre (42 tahun) ketika merasa ada ketidakcocokan dan lantas memutuskan bercerai. Keduanya sangat menyayangi anak-anak mereka, dan memutuskan tetap utuh berperan sebagai orang tua bagi anak-anak mereka. Meski Yessy dan Andre sempat mengalami ketegangan sebagai pasangan, namun mereka sepakat tinggal berdekatan dan bahkan seringkali melewatkan liburan bersama sebagai keluarga. Sayangnya gambaran ideal suami-istri bercerai namun tetap menjadi orang tua yang baik ini tampaknya hanya dialami segelintir orang.
Rahmat termasuk yang tidak mengalami hubungan manis dengan mantan pasangan setelah bercerai. Ia sulit bertemu anak-anaknya karena dibatasi oleh mantan istrinya. “Untuk mengajak anak menginap bersama saja susah sekali,” kata pria yang bekerja paruh waktu sebagai staf pemasaran sebuah perusahaan asuransi ini. Tak jarang ia hanya diperbolehkan bertemu di luar pagar yang terkunci. Rahmat mengakui mantan istri membatasinya bertemu anak-anak mereka karena ia tidak memberi nafkah bagi dua anaknya secara langsung dan tidak terlibat dalam pendidikan mereka. Hal ini disadarinya meski ia punya alasan lain yakni menyimpan nafkah anaknya dalam bentuk tabungan pendidikan anak yang akan diserahkan kelak pada saatnya. Perceraian seharusnya tidak memutuskan tanggung jawab ayah maupun ibu dalam merawat dan memelihara anak. Namun, menurut Zaimah, biasanya dalam praktek, ego kedua pihak yang bicara sehingga anak jadi korban.
Padahal, seperti disebutkan Ira, tak ada istilah mantan orang tua atau mantan anak, meski ada mantan pasangan. Artinya, dengan atau tanpa hak asuh, mereka tetaplah orang tua bagi anak-anak. Jadi, ayah atau ibu tetap memiliki tanggung jawab sebagai orang tua yang mengasuh, mendidik dan merawat anak.
Bisa minta bantuan
Hak kuasa asuh anak bisa saja jatuh ke ibu atau ayah. Yang jelas, tentu, tak mudah bagi pihak yang tidak mendapatkan hak kuasa asuh menerima kenyataan berpisah dari si buah hati. Namun, menurut Ira, orang tua yang tak mendapatkan hak asuh, justru perlu membuktikan ia orang tua yang bertanggung jawab. Ira memberi contoh, apabila mungkin, alangkah baiknya bila orang tua yang tak memiliki hak asuh bisa mengantar atau menjemput anak pulang sekolah atau mengantar anak kursus. Dengan demikian, mantan pasangan dapat melihat itikad baik untuk memperlakukan anak dengan baik. Bisa jadi, dalam beberapa kasus, ketidakpiawaian ayah mengurus anak terlihat di sana-sini, sehingga membuat ibu khawatir anak tidak dirawat dengan baik ketika tinggal bersama ayahnya. Di sisi lain, Ira melihat peran ayah ketika masih dalam status perkawinan sekarang ini cukup besar dalam urusan mengasuh dan mendidik anak. Tak heran jika fenomena para ayah yang merasa kehilangan fungsi sebagai ayah dan ingin memperjuangkan hak asuh mereka terhadap anak, cukup besar.
Rahmat adalah salah satu ayah yang gigih memperjuangkan hak asuh anaknya. Suatu ketika ia dituduh mencuri anak keduanya, yang diajaknya pulang ke rumahnya, ketika dititipkan pada kakak mantan istrinya. Karena ia tidak memberi nafkah secara langsung pada anak, karena takut dipergunakan mantan istri untuk keperluan pribadinya, Rahmat merasa berada dalam posisi lemah. Memang tuduhan pencuri anak seringkali ditujukan, yang anehnya, pada mantan pasangan yang sebenarnya adalah orang tua si anak. Sekarang ini, Rahmat minta bantuan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) untuk bisa bertemu atau sekadar memantau anak-anaknya. Meski demikian sejak bulan Februari 2006, intensitas perjumpaan Rahmat dengan anak-anaknya sangat berkurang. Mereka hanya bisa berhubungan lewat telepon. Kesulitan ini tak membuat Rahmat mundur. Ia berusaha menjalankan perannya sebagai ayah meski melalui proses berbelit-belit.
Kondisi serupa dialami Vera, bukan nama sebenarnya, yang menikah dengan pria warga negara asing. Vera yang semasa hidup di negara suami harus bekerja keras membiayai kehidupan keluarga dari pagi hingga malam ini bercerai karena tak tahan dengan perlakuan semena-mena suaminya yang peminum. Ketika kembali ke Indonesia membawa anak mereka, suami Vera marah dan melaporkan pada polisi dengan dakwaan penculikan anak. Hukum di Indonesia memang tak berpihak pada wanita dalam perkawinan antarbangsa. Untungnya ketidakberpihakan ini akan segera berakhir. Saat ini di DPR tengah diproses RUU mengenai kesempatan anak-anak di bawah usia 18 tahun yang salah satu orang tuanya berkewarganegaraan asing untuk mendapatkan kewarganegaraan ganda
Tentu, bila hak kuasa asuh jatuh ke tangan mantan pasangan, bukan berarti hak Anda sebagai orang tua terputus. Bila Anda menjalankan tanggung jawab dengan baik, namun merasa dipersulit mantan pasangan untuk mengasuh anak, Anda masih bisa mengupayakannya secara hukum. Menurut Zaimah, pihak yang dipersulit bisa mengajukan gugatan balik ke pengadilan untuk meminta kejelasan hak asuh anak. Penerima hak kuasa asuh juga harus memahami bahwa dengan menerima hak kuasa asuh, bukan berarti anak mutlak miliknya sendiri, dan mengabaikan hak mantan pasangan.
Bagaimana jika mantan pasangan mengabaikan kesejahteraan anak? Untuk kasus ini Zaimah mengatakan bisa diajukan gugatan hak asuh anak dengan melaporkan tuntutan pengambilalihan hak asuh di pengadilan tempat kasus perceraian disidangkan.
Optimalkan pengasuhan
Bagaimanapun kompleksnya masalah Anda dan mantan pasangan, kepentingan si kecil jangan diabaikan. Anak tetap perlu kehadiran Anda dan mantan pasangan sebagai orang tuanya. “Orang tua yang tak mendapat hak kuasa asuh perlu memahami bahwa walaupun tidak memiliki hak asuh, ia tetap punya kewajiban membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Tidak hanya biaya hidup dan pendidikannya saja, namun juga kenyamanan hidup anak,” ujar Ira.
Pengalaman Andre bisa disimak. Meski tak mendapat hak asuh anak, tak jadi soal baginya untuk hadir dalam acara sekolah anaknya. Ia bahkan seringkali membuat acara khusus dengan si kecil tanpa mantan istrinya, selain di setiap akhir minggu kedua anaknya tinggal bersamanya. “Pada dasarnya ayah memang memiliki kompetensi cukup tinggi untuk mengasuh anak tanpa ibu dengan caranya sendiri. Anak juga bisa belajar dari ayahnya bagaimana cara mengatur keuangan, berpikir logis, dan bertahan dalam keterampilan hidup sehari-hari, seperti memasak sederhana atau mencuci pakaian,” ungkap Ira. Sementara dari ibu, anak belajar keterampilan-keterampilan halus seperti mempercantik interior, belanja, menghias rumah dan keterampilan lain yang umumnya didominasi wanita. Semua itu pastinya dibutuhkan anak untuk tumbuh secara utuh.
Tanggalkan ego
Umumnya orang tua yang mendapatkan hak asuh anak membiayai anak-anak mereka seorang diri. Tentu tidak mudah! “Dalam hal ini peran orang tua yang tak memiliki hak asuh sangat diperlukan,” papar Ira. Selain memantau kondisi anak-anak, mereka juga harus memenuhi kewajiban mereka. Dalam keseharian, orang tua dapat memantau keadaan buah hatinya sekaligus memenuhi kewajiban dan haknya bertemu anak. “Dengan demikian orang tua yang memiliki hak asuh sedikit demi sedikit tumbuh kepercayaan pada mantan pasangannya. Bila ada keperluan, pilihan pertama menyerahkan tanggung jawab anak adalah pada mantan pasangannya,” kata Ira.
Demi kesejahteraan si kecil, Anda memang harus menanggalkan ego dan mengesampingkan ketegangan emosi antara Anda dan mantan pasangan. Fokuskan tindakan Anda dan pasangan semata-mata demi perkembangan anak.
(Eleonora Bergita )
Bahan :Cherry Riadi Lukman, GT
Sumber: http://www.ayahbunda-online.com/info_ayahbunda/info_detail.asp?id=Fatherhood&i
No comments:
Post a Comment