Oct 5, 2006

Anak-anak dari Orangtua Bercerai: Jangan Diberi Label, Jangan Dihakimi

Suatu petang, Bram (16) bercerita pada ibunya tentang guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) di sekolah yang tiba-tiba memanggilnya dan mengajaknya bicara. Begitu bertatap muka, guru itu langsungmenanyakan apakah ia baik-baik saja.Bram bingung. Ia merasa hidupnya biasa- biasa saja. Namun ia terusditanya, bagaimana keadaannya di rumah, kenapa ayah dan ibunyaberpisah, apakah ia merasa kesepian, dan banyak pertanyaan lainnya,yang secara halus memancing-mancing agar Bram menceritakan segalasesuatu tentang dirinya kepada ibu guru BP-nya."Aku heran kok guru BP-ku begitu," ujar Bram, seperti ditirukan ibunya, Ratri (43). Mula-mula Bram mendengarkan saja kata guru BPitu. "Tapi lama-kelamaan, ia merasa tidak tahan lagi. Lalu diabilang, ’Ibu, saya baik-baik saja. Hidup saya mungkin jauh lebihbaik dari anak-anak lain yang masih ada ayah-ibunya di rumah, tetapimereka setiap hari berantem’," ujar Ratri, menirukan ucapan anaknya saat itu.
Kejadian itu, menurut Ratri, sebenarnya sudah terjadi lebih setahunlalu. "Tapi Bram baru bilang saya beberapa hari lalu. Dia sangatpandai menjaga perasaan saya. Dia tidak ingin saya jadi banyak mikir," lanjutnya.
Anak satu-satunya pasangan Ratri dan Pram (bukan nama sebenarnya) itu memang termasuk tipe pendiam. Ia tidak suka hura-hura dan suka sekali membaca, meskipun ia juga suka main musik bersama teman-temannya. Prestasi sekolahnya luar biasa. Selama di SMA ia terus mendapat beasiswa karena nilai-nilainya sangat bagus, khususnya dibidang ilmu pasti.
Ratri dan Pram hidup terpisah sejak Bram berusia empat tahun. Prammelanjutkan studinya ke AS, sementara Ratri dan Bram tetap di Jakarta. Setahun kemudian mereka menyusul ke AS, tetapi Ratri hanyabertahan enam bulan di tempat itu.Hidup bersama suaminya yang ia jalani secara intensif di negeriorang membuat Ratri melihat sisi-sisi lain dari Pram yang tak pernahia lihat sebelumnya. Ia tidak mau keadaannya menjadi lebih buruk.Maka, ia pun memutuskan pulang ke Tanah Air bersama Bram. Sejak itu hidup mereka praktis berpisah, meskipun perpisahan secara legal baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah Pram berhasil mengambil gelar Doktor-nya.
Perpisahan Didit dan Mira (bukan nama sebenarnya) tidak terhindarkansetelah 19 tahun perkawinan mereka. Namun, kekhawatiran Mira akan perkembangan anak sulungnya tidak beralasan. Tidak ada satu guru punyang berubah sikap pada Riza (17). Prestasinya di sekolah tidak terganggu. Ketika lulus ia berada di deretan terbaik dari semua murid di sekolahnya. Bahkan, ia mendapat penghargaan khusus sebagai anak yang paling peduli pada sesamanya.
"Riza seperti ingin mengatakan pada saya, ’Saya baik-baik saja, Bu. Ibu tidak perlu khawatir’," ujar Mira beberapa waktu lalu. Anak itu menjadi teman ibu dan ayahnya yang kini hidup terpisah.
BANYAK penelitian, salah satunya diterbitkan oleh Journal of Marriage and Family edisi Agustus tahun 2001, menemukan bahwa perceraian orangtua membawa dampak negatif pada banyak anak.Psikolog Rieny Hassan bisa menerima hasil penelitian seperti itudalam beberapa hal. "Harus diakui, perceraian membawa dampak padaanak. Paling tidak, rasa aman mereka terbelah," ujarnya.Namun, sebenarnya hal itu tergantung pada banyak hal. Rieny
menjelaskan, pertama adalah usia anak ketika terjadi perceraian.Kedua, kematangan orangtua menyikapi perpisahan mereka dan ketika menjelaskan pada anak mengapa mereka harus berpisah.
Berapa pun usia anak, menurut Rieny, orangtua harus memberi tahu secara perlahan mengapa mereka harus berpisah. Seperti Ratri yang menjelaskannya setahap demi setahap sesuai dengan perkembangan usiaBram.
"Saya mencoba menjelaskan bahwa kami tidak cocok satu sama lainsehingga berpisah adalah cara yang terbaik," sambungnya. Namun,Ratri juga meyakinkan Bram bahwa anak itu tidak akan pernah kehilangan ayah dan ibunya. Hanya kini ayah dan ibunya tidak tinggal serumah lagi.
Setelah keputusan untuk berpisah itu, kehidupan Ratri tidak mudah.Ia harus kembali membangun kariernya dari awal, tanpa apa pun, kecuali semangat untuk hidup. Kekuatan Ratri ditopang oleh Bram kecil yang selalu berada di sisinya.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Ratri dan Pram membaik. Merekaberdua kini seperti teman yang bersama- sama bertanggung jawab membesarkan anak mereka dengan cara mereka sendiri. Hubungan Pramdengan Bram juga semakin dekat. Semakin dewasa, Bram makin memahami siapa ayahnya dan siapa ibunya, yang sampai kini keduanya masih hidup sendiri.
"Suatu hari, sepulang berlibur dengan ayahnya, ia bilang, ’Papa orang baik. Mama juga orang baik. Tapi kalian memang beda’," ujarRatri menirukan Bram.
Upaya untuk menjelaskan situasi yang dihadapi juga dilakukan oleh Nancy (36) terhadap anaknya, Adit (11). Suami Nancy melanjutkan studi ke luar negeri dan kemudian menghilang tanpa berita. Usia Aditwaktu itu masih 1,5 tahun. "Waktu kecil mungkin dia masih tidak tahu karena masih ada eyang kakungnya. Tapi semakin besar, mulai kelas I SD kalau enggak salah, ia mulai bertanya tentang ayahnya," kenang Nancy.Saat itu Adit mendapat tugas untuk membuat pohon keluarga. Namun di kelas, pohon yang dibuat Adit dimasalahkan karena tidak ada ayah disana. Nancy tahu benar kebingungan Adit, yang melihat ada foto perkawinan orangtuanya, tetapi ia tak pernah tahu di mana ayahnya."Tiap tahun ia tanyakan sesuatu yang menyangkut ayahnya. Makin lama pertanyaannya makin sulit dan saya semakin harus hati-hati menjawab.
Tahun ini, misalnya, ia bertanya apakah orang yang memutuskan pergibegitu saja berarti sudah tidak sayang lagi," ungkap Nancy."Saya tidak ingin Adit mewarisi kesakitan saya," lanjut Nancy. Olehkarena itu, ia akan menjelaskannya dengan hati- hati, setahap demisetahap sampai Adit paham betul apa yang dialami ibunya. Nancy juga berusaha membuat Adit memahami dirinya tanpa rasa kecewa dan sedih.Itu tentu bukan tugas yang ringan. Seperti dikatakannya, "Semakin besar dia, semakin tidak mudah ia menerima jawaban saya.". Persoalan terakhir yang ditemui Nancy adalah formulir pendaftaran ulang Adi. "Dari dulu saya tidak pernah mengisi kolom ayah. Tapi sekarang tiba- tiba ada keharusan mengisinya. Padahal buat saya, itu menyangkut soal prinsip. Saya tidak mau mengubur suami saya karena saya tidak tahu ia masih hidup atau sudah meninggal. Saya hanya
ingin mengubur masa lalu saya," kata Nancy.
Ia memahami konsep "kesakralan" keluarga yang dianut banyak orang. Konsep itu pula yang sesungguhnya mendera Adit. "Kalau di kelas ada penjelasan guru menyangkut soal keluarga, misalnya, Adit selalu dicecer," lanjut Nancy.
Beruntung Adit selalu bercerita kepadanya tentang apa saja. "Adit tumbuh seperti anak-anak lainnya. Pintar banget enggak, biasa-biasasaja. Dia menjadi teman saya yang ceria. Kami saling memiliki. Jadi,tidak ada yang harus dikasihani," lanjutnya.
"IDEALNYA anak dari orangtua yang bercerai tidak harus seperti
cermin retak," ujar Rieny.Persoalannya adalah masyarakat di luar lingkungan mereka. Seorang mentor dari pusat pendidikan dan pelatihan suatu kantor mengingatkan pelatih yang lain tentang salah satu dari pegawai baru yang sedang
mengikuti pelatihan. "Dia pandai, tapi agak sulit dan sangatsensitif. Mungkin karena orangtuanya bercerai, dan ia dibesarkanoleh ibunya," begitu antara lain komentar mentor itu.Padahal bisa jadi anak itu sensitif karena ia memang sensitif. "Brampendiam karena ia memang pendiam. Ia lebih mirip saya dibandingkan
ayahnya," ujar Ratri.
Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa korban dari perceraian orangtua adalah anak-anak. "Mereka bisa menjadi seperti barang yangdiperebutkan," ujar Ratna Juwita, psikolog dari Universitas Indonesia.
Tahapan yang dilewati Bram dan Reza, sampai mereka bisa menerima bahwa yang terbaik bagi orangtua mereka adalah berpisah, memangtidak banyak terjadi.
"Banyak pasangan yang kemudian terus menyimpan rasa kecewa, marah,bahkan dendam. Lalu anak-anak menjadi obyek manipulasi orangtuanyayang saling menyalahkan dan saling merasa benar sendiri," sambungRieny.
Hanya kalau orangtua cukup matang dan bisa mengambil jarak dari pengalaman mereka, anak punya ruang untuk memahami perpisahan orangtuanya.Namun, tetap saja ada bagian dari masyarakat yang "menghukum" anak-anak itu. Anak- anak produk keluarga yang bercerai kerap kali mendapat "label" khusus. "Seakan-akan anak dari keluarga yang bercerai pasti tidak bisa bahagia, pasti begini, pasti begitu,"sambung Ratna.
Menurut Ratna, di AS dan banyak negara maju lainnya, anak yang lahir di luar nikah pun dilindungi penuh oleh undang-undang dan hak-haknya sebagai anak dipenuhi. "Mereka punya hak untuk berkembang secara wajar dan mempunyai kesempatan yang sama terbukanya dengan teman-temannya yang dilahirkan dari orangtua yang lengkap," ujarnya.Di Indonesia anak-anak itu seperti tak hanya diberi label, tetapi juga stigma yang terus dibawa sepanjang hidup. Kemajuan yang diadopsi masyarakat dari Barat hanya dipegang "ujung- ujung"-nya
karena tidak mampu memaknai kesetaraan sebagai manusia. Ketidakmampuan ini dalam banyak hal, ditunjang oleh norma-normatertentu yang masih dikukuhi sebagian besar anggota masyarakat."Setiap generasi di masyarakat kita memegang norma yangberbeda-beda," lanjut Ratna. Dulu, orang hanya bercerai kalausituasinya sudah benar-benar ekstrem. "Orangtua kita selalu mengingatkan, apa pun yang terjadi jangan sampai bercerai. Pada kita juga dicekokkan ’kalau ada masalah di dalam rumah tangga jangan sampai keluar’," sambungnya. Hal-hal seperti ini tak bisa lagi diterapkan secara ketat saat ini karena perubahan pandangan,terutama ketika orang semakin memahami hak-hak asasinya sebagai manusia.
Orang yang dibesarkan dengan norma ketat tentang "kesakralan"keluarga pasti punya pandangan yang sangat khas tentang keluarga danmenjunjung tinggi nilai "harmoni", sekalipun kehidupan di dalamrumah tangga lebih mirip "neraka kecil". Pada generasi itu, pandangan terhadap perkawinan cenderung konvensional. "Sehinggamereka punya anggapan, anak dari keluarga bercerai tidak mungkin
bahagia," kata Ratna. Ratna melihat masih banyak guru dan lingkungan di sekolah yangdibesarkan dengan norma seperti itu. Akibatnya, mereka akan terusberusaha mengorek situasi seorang anak yang orangtuanya bercerai."Mungkin maksudnya baik. Namun sebenarnya justru sangat mengganggu anak itu," sambungnya. Pada banyak keluarga saat ini, khususnya pada keluarga yang cukup berpendidikan, mereka tidak mau menunggu sampai situasi hubungan di dalam keluarga menjadi sangat ekstrem. Kalau perempuan merasa perkawinannya tidak bisa lagi dipertahankan, ia akan berani mengambil keputusan supaya anak tidak terlalu lama menjadi korban dari situasi itu.
"Orangtua yang memutuskan bercerai akan berusaha keras mengurangi dampak negatif perceraian itu terhadap anak- anak mereka," lanjut Ratna. Namun, Rieny punya catatan. "Sebagian besar perempuan yang berani mengambil keputusan adalah mereka yang mandiri secara ekonomi," ujarnya.
Dengan demikian, bukanlah hal yang luar biasa kalau banyak anak merasa lebih bahagia setelah orangtuanya bercerai. Kematangan orangtua dalam menjelaskan persoalan mereka membuat anak merasa tidak kehilangan apa pun dari perceraian orangtuanya, kecuali bentuk rumah tangga yang "berbeda" dibandingkan dengan sebelumnya.Pengalaman Ratri adalah contoh yang paling jelas.Meski demikian, menurut Ratna, setiap keluarga mempunyai kasusnya sendiri-sendiri. "Ada keluarga yang bisa mengelola situasinya setelah perceraian terjadi, ada yang tidak sanggup," ujarnya. Di dalam situasi di mana norma yang baru dan yang lama hidup bersama di masyarakat dengan tingkat pendidikan dan wawasan yang tidak
merata, mana norma yang lebih baik atau lebih buruk tidak relevan lagi dibicarakan. Yang terpenting, menurut Ratna, adalah bagaimana menumbuhkan dan memupuk toleransi."Toleransi bahwa ada keluarga-keluarga yang bentuk kehidupannya berbeda. Ada anak yang punya dua ibu, atau dua ayah, atau dua ayah, dua ibu, atau satu ayah satu ibu tapi berpisah, atau satu ibu tanpa ayah, atau sebaliknya. Tidak ada yang salah pada anak-anak itu,"sambungnya. Ia melanjutkan, "Jangan menilai. Jangan menghakimi. Kita harus belajar menerima pluralisme dari berbagai bentuk kehidupan, seperti kita menerima pluralisme suku, etnis, golongan, agama, ras, dan lain-lain." Nah! (MH)

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails